Tulisan ini pernah dimuat di http://www.maknews.id/pengalaman-mengurus-administrasi-di-surabaya/
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman. Iyo yo, ngerti. Pengalamanku asline durung akeh. Tapi, apa salahnya berbagi. Yo, sopo eruh bermanfaat bagi yang lain.
Sebenarnya,
saya bukan orang asli Surabaya. Saya adalah pendatang yang sudah nyaris
10 tahun bermukim di Kota Pahlawan. Namun, hal itu justru membuat apa
yang saya ketahui tentang proses administrasi di Surabaya dan sekitarnya
menjadi lebih kompleks.
Seluk beluk, tetek bengek, sluman-slumun,
gandeng renteng #halah, tentang administrasi dan pengurusan kartu-kartu
serta izin-izin yang beraneka jenis akan saya paparkan di sini. Nek onok mblesete, yo sepurane. Iling, Rek, iling! Aku iki menungso biyasa!
1. Hilang ATM
Seingat saya, sudah tiga kali saya kehilangan kartu ATM. Mungkin lebih, lho.
Penyebab kartu saya hilang dulu kan karena saya pelupa. Kalau soal
kartu ATM saja saya lupakan, apalagi jumlah kehilangannya, kan? *tik tok
tik tok tik tok
Dari beberapa pengalaman, mengurus kehilangan kartu ATM BCA
(dicoret ya, nanti dikira promosi) merupakan yang paling simpel. Sebab,
nasabah tidak harus menyertakan surat kehilangan dari Polisi. Untuk
kartu ATM bank lain, tampaknya masih butuh surat dari pak pulis.
Jadi, jangan lupa membawa selembar kertas berstempel korps bhayangkara itu jika mengurus kehilangan kartu ATM.
2. Pindah Nikah
Lha iyo, Rek. Koyok jare
pepatah, asam di gunung garam di laut, bertemu jua di belanga. Aku di
Banyuwangi, bojoku di Madura, takdirnya menikah di Surabaya. Oleh karena
sama-sama ber-KTP luar Surabaya, pada 2011 lalu, kami pun “menumpang
nikah” di kota ini.
Alhamdulillah, kota ini tidak keberatan kami
tumpangi. Maklum, waktu itu saya masih kurus, begitu pula suami saya.
Kami dulu bukan pasangan kelas berat. Lha kalau sekarang? No comment!
Mengurusnya
tidak terlalu rumit. Cukup membawa surat pindah nikah dari daerah asal
(laki dan perempuan). Lantas, didaftarkan di KUA wilayah berlangsungnya
akad nikah.
Jadi, KTP masing-masing tetap berstempel luar
Surabaya. Asalkan, disertakan foto kopi KTP saudara/keluarga yang
berdomisili di wilayah berlangsungnya akad nikah. Paham kan maksudku? Yo pahamlah. Mosok ngono ae kudu tak baleni ping papat.
3. Pindah KTP
Ini
saya lakukan di Sidoarjo dan paling menguras tenaga plus biaya. Saya
harus mengurus pencabutan data dari KK tempat asal di Banyuwangi. Biar
cepat, saya sendiri yang harus mengurusnya.
Runtang-runtung, kesana kemari, ngetan ngulon, ngalor ngidul, dari rumah Pak RT, sampai rumah Pak Camat, eh sori. Maksudnya, sampai kantor Dinas Kependudukan.
Kena biaya? Iyes. Biaya seikhlasnya di tingkat RT sampai Kecamatan. You know lah biaya apa itu.
“Niki wonten biayane, Pak?”
“Nggih sakwelase sak ikhlasne mawon, Mbak. Kula tampi!,”
Alhamdulillah,
di kantor Dinas Kependudukan gratis. Lalu, sesampainya di Sidoarjo,
saya minta tolong orang lain untuk menguruskan. Ehm…., semacam calo lah.
(Lha, semacam jare?! Opo rumangsane calo iku bermacam-macam?)
Yang jelas, kalau kita mengurus sendiri semua proses administrasi, biaya dapat ditekan seminim mungkin.
4. Mengurus KPR
Sekali lagi, saya mengurusnya di Sidoarjo. Eh, bukan saya ding. Tepatnya, suami saya. Nah, saat suami saya mengurus KPR, saya dengan setia mengurus suami saya #yomestiae #cuitcuitsokswit
Untuk pengurusan KPR waktu itu, awalnya kami menyerahkan uang Rp 1 juta kepada developer sebagai tanda jadi. Lalu, menyiapkan segala macam dokumen seperti KTP, buku nikah, slip gaji dan foto kopi buku tabungan.
Nah,
menyiapkan slip gaji ini yang paling ribet karena profesi kami guru.
Yok ai, guru seperti kami, penghasilannya kan gak besar. Apa mereka
percaya pada kami, Tuan? Apalah kami ini, Tuan? Apa?!
Ceg kethok rodok akeh penghasilane, tak akali ae, sekalian tak sertakno kuitansi-kuitansi pembayaran les privat yang kami handle. Alhamdulillah, isih nutut, Rek. Lik e gelem ngeweki KPR.
Urusan ke bank diambil alih developer dan akhirnya aplikasi kami diterima BTN. Kini KPR kami sudah berjalan 3 tahun dan masih 12 tahun lagi. Huaaaaaaaa!
Tapi ingat, Suro Wani, Boyo Utang. Suroboyo, Wani Utang! Kapokmu kapan!
5. Mengurus paspor
Saya
dua kali mengurus paspor. Pertama, buat baru. Kedua, perpanjangan.
Dahulu kala sebelum ada aplikasi online, saya menggunakan biro jasa.
Sekitar 6 tahun lalu, biayanya sekitar Rp 500 ribu.
Nah, Juni lalu
saya memperpanjang paspor dengan mendaftar sendiri secara online.
Karena khawatir antri, setelah melakukan pendaftaran online dan mendapat
form bukti pendaftaran dan pembayaran, saya datang pagi-pagi sekali ke
kantor imigrasi Waru.
Oh ya, pembayaran mengurus paspor via online
ini hanya bisa di Bank BNI atau ATM BNI. Bukti pembayaran yang asli
digunakan untuk mengambil paspor.
Saya datang pukul 6 pagi, dan antriannya luar biasa panjang hingga mencapai musholla di kantor imigrasi Perak, eh… Waru. Ceg dowone nek nganti Perak.
Tapi,
bagi yang sudah mendaftar online, hanya akan antri sebentar di luar
sampai masuk. Sebab, di dalam ruangan, akan dipisahkan mana yang
mendaftar online dan mana yang offline.
Yang mendaftar online
dikumpulkan di antrian tersendiri karena waktu pengurusannya bakal lebih
singkat. Tidak sampai dua jam, saya sudah menyelesaikan wawancara dan
foto. Tiga hari kemudian, saya sudah mendapatkan paspor. Hore! Ngelencer dong beb, ngelencer. Mosok neng pasar malem terus, beb…
6. Mengurus BPJS
Saya
mendaftar BPJS secara online. Lantas, mengurus kelengkapannya dengan
datang langsung ke kantor BPJS Dharmahusada. Saya sempat beberapa bulan
tidak membayar iuran (Lupa. Ya, lagi-lagi karena lupa. Untung saya tidak
pernah lupa kalau sudah berkeluarga). Maka itu, saat BPJS yang saya
miliki diambilalih oleh tempat kerja, saya diminta melunasi tunggakan
iuran terlebih dahulu.
Saya menggunakan BPJS saat melakukan pemeriksaan rutin kehamilan. Yang membuat saya sempat getem-getem,
bidan dan dokter di puskesmas faskes 1 tidak pernah mau memberi surat
rekomendasi untuk periksa di faskes yang lebih tinggi: rumah sakit.
Tapi selanjutnya saya paham, pasien baru boleh dirujuk jika memang diperlukan. Nek mung pengen endel supoyo isok perikso nang tempat dengan fasilitas lebih banyak, yo mohon maaf. Lha wong dengan fasilitas sederhana bisa diatasi, lapo kemelinthi pengen yang lebih dan lebih?!
Walhasil,
selama kehamilan, saya periksa gratis di puskesmas (kecuali cek darah).
Dan, kalau mau periksa lebih detail ke Rumah Sakit di Jemursari, saya
rogoh kocek sendiri.
Hingga menjelang melahirkan, saya tak kunjung
dapat rekomendasi dari faskes 1. Dokter jaga puskesmas tetap bersikukuh
dengan pendiriannya. Idealiasmenya mengingatkan saya pada Bung Karno
#sayatahusayaberlebihan.
Dia bilang, kalaupun nanti saya tiba-tiba
melahirkan, cukup datang ke rumah sakit dan meminta surat rujukan
setelahnya. BPJS tetap akan berlaku. Mbuh, iki sakjane peraturane yok opo aku gak patek paham.
Karena ketidakjelasan tersebut, saya dan suami mulai mempersiapkan diri untuk lahiran dengan biaya sendiri.
Saya tepuk pundak suami sambil berkata, “Kang
Mas, ilingo. Kula bakal ngelahirno nang RS ndek Suroboyo. Nah, Suroboyo
iku artine, Suro Wani, Boyo Utang. Nek wonten menopomenopo, panjenengan
kudu Suroboyo yo. Maksude, kudu wani utang,” demikian yang saya katakan dan disambut anggukan manja suami.
Ndilalah,
saya pecah ketuban beberapa hari sebelum perkiraan. Tanpa pikir
panjang, di malam yang sepi, kami meluncur ke RS di bilangan Jemursari.
Awalnya, suster setempat tetap meminta rekomendasi dari faskes 1 kalau
mau pakai BPJS.
Namun, terimakasih Bu suster, terimakasih rumah sakit, karena kondisi sudah mendesak sepeti angkot yang diisi wong wolulas, akhirnya saya tetap dilayani dengan baik. Menariknya, saya baru dimintai rekomendasi di hari saya keluar dari rumah sakit. Mbuh, iki sak jane peraturane yok opo aku gak patek paham (2).
Demikianlah sejumlah pengalaman saya. Sebenarnya masih banyak curhat pengalaman lain yang kalau dipaparkan semua bisa makan waktu rong dino rong wengi koyok wong jagong bayek. Gelem ta? Tidak, jangan terlalu lama baca curhatan saya. Nanti menular…
Oke deh kakak, salam super.
About Me
- Eka Devi
- I'm a teacher working in SD Islam Al Azhar 35 Surabaya and a freelance translator. Check my website surabayatranslate.com for further information about my translation or contact me @ 087852400566
Archive for February 2017
Pengalaman Mengurus Administrasi di Surabaya
.
Category Me Stuffs
Susahnya Menjelaskan Kasus Setya Novanto Kepada Siswa SD
.
Tulisan ini pernah dimuat di
http://www.maknews.id/susahnya-menjelaskan-kasus-setya-novanto-kepada-siswa-sd/
Rek, Rek. Kon duwe anak atau adik yang masih imut-imut duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), gak? Atau, duwe dulur seng sek SD? Atau malah awakmu asline yo sek SD?
Kalau jawaban kamu yes, sekali-sekali coba lihat materi arek-arek iku, terutama mata pelajaran (mapel) PKn. Hayoo, koen.
Ini pelajaran yang mana ya? Ada yang tahu? Bagi yang sudah tua (dan
jomblo kadaluarsa), PKn adalah mata pelajaran yang dulu namanya PMP
alias PPKn.
Di sekolah, selain sebagai wali kelas, saya kebagian
mengajar mapel IPS, PKn dan Bahasa Inggris. Nah di pelajaran PKn dan IPS
inilah saya banyak kejedok jedok. Bukan karena ga iso, secara aku guru gaul yoh! Kalau cuma ngapalno tugas-tugas lembaga negara, aku yo gampang. Gampang lali :p.
Saya seringkali terjedok-jedok dengan materi yang harus diterima oleh murid-murid saya yang masih imut-imut seimut gurunya itu ^_^…
Kejedoknya itu gini lho. Bayangkan, di pelajaran PKn, anak-anak diberi materi lembaga tinggi negara beserta tugas-tugasnya.
Mbokk, sampean saja pasti sejenak rodok mandek trus
mikir, lembaga tinggi negara itu yang mana? Apa yang dipimpin Bapak
Setya Novanto yang Papa Minta Saham tapi baperan, itu? Atau yang
dipimpin menteri SS atau RK (yang kata Pak Menkumham sedang di luar
negeri saat namanya ramai diberitakan bersama papa minta saham itu)?
Yak,
yang dipimpin Papa Novanto itulah yang termasuk lembaga tinggi negara
bersama beberapa lembaga lainnya. Eh eh, tapi bener ya Papa Novanto
masih mimpin DPR? Soalnya kemarin katanya dia mundur? Pake spion gak?
Habis mundur masuk penjara, kan? Ah, paling juga nggak jadi.
Nah
mengajarkan lembaga tinggi negara ini mayan susah menurut saya, sekali
lagi bukan karena ga iso, tapi… Begini, anak SD itu kan dunia yang
paling dikenal adalah yang mereka lihat dan mereka rasakan, yang sedekat
mungkin dengan mereka.
Nah makbedunduk mereka diajak ke
awang-awang menerawang DPR, MPR, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah
Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), itu
apa?
Kalau presiden, masih lumayan dekat lah ya, secara fotonya
tersenyum selalu kepada mereka di kelas. Nah, lembaga-lembaga lainnya
ini lho, apalagi di sebuah buku ditulis seperti ini:
Wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
1. Mengadili pada tingkat kasasi
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Sampean ae wes, yang nomor 2 mudeng, gak? Bukan bermaksud ngetes Are You Smarter Than 6th Graders
lho ya, tapi untuk menjelaskan nomor 1 saja anak-anak masih perlu tahu
tentang sidang dan pengertian kasasi plus contohnya. Maklum, anak SD
jaman sekarang pada tidak manggut-manggut begitu saja kalau menemui kata
yang baru apalagi aneh.
Untuk menjembatani dunia yang terlalu jauh itulah saya biasanya membarengi pengajaran dengan video (agar bisa dilihat) dan ndongeng
(agar lebih dramatis dan menancap) atau meminta mereka melakukan
observasi mandiri. Namanya saja mengajar anak-anak, maka yang lebih
penting adalah mendidiknya. Kalo cuma ngajar, ketoke aku ga perlu tes
berhari-hari saat masuk jadi guru dulu.
Muatan mendidik untuk
materi lembaga tinggi negara, menurut saya, tentu berkaitan dengan
amanah, kewajiban, kerja sama. Apalagi di buku anak-anak nyata ditulis,
“Presiden juga melaksanakan tugas legislatif bersama DPR, antara lain
dalam hal membentuk undang-undang dan membahas RAPBN yang diajukan
pemerintah.”
Bayangno, urusan peraturan negoro seng sak mene ombone, urusan duwet seng mungkin aku ga iso moco nek ditulis ongkone, itu diatur oleh presiden bersama DPR.
Terus,
dengan DPR yang kemarin saat rapat yang hadir hanya 144 orang dari 555
anggota sehingga rapat paripurnanya ditunda, dengan ketuanya yang
terlibat skandal dan dipetisi orang banyak agar mundur, dengan hasil polling yang menurut masyarakat DPR adalah lembaga terkorup, aku kudu ngomong opo nang muridku? Aku kudu ngomong opo? Aku kudu ngomong opooo, Rek? *Nangis nang ngisore shower.
Misal, aku cerita apa adanya kepada mereka bahwa DPR sedang begitu (apa memang selalu begitu?). Opo aku gak nelongso dewe?
Apalagi, di bab satunya, anak-anak mendapat materi tentang pemilu dan
pemilukada. Ya, untuk memilih wakil-wakil rakyat tadi, bahwa bagi warga
negara yang sudah memiliki hak untuk memilih agar menggunakan suaranya,
kan jadi sambung menyambung ceritanya.
Selain itu, anak SD sekarang pegangannya gadget. Seringkali saya menugaskan mereka untuk melakukan early reading untuk mendapat wacana dari sumber selain buku. Tanpa saya ndongeng,
dengan pemberitaan yang santer seperti inipun anak-anak kalau disuruh
cari info tentang DPR pasti lebih banyak mendapat info yang
negatif-negatif.
Saya pun harus menyiapkan jawaban kalau mereka bertanya, “Miss, kok
gini, kenapa begitu?” Bisa saja saya jawab itu ulah oknum, manusia ada
yang baik ada yang kurang baik. Tapi, oknum itu kan sedikit, kalau
banyak begini, apa masih bisa disebut oknum?
Saya sebagai guru bisa saja cukup mengajarkan apa yang ada di buku dan tidak usah kemiyes mblarah
kemana-mana. Tapi kalau hanya sebatas itu, maka tugas mendidik saya
tidak terjalankan, dan juga tujuan pembelajaran PKn itu sendiri.
Karena,
menurut Depdiknas, salah satu tujuan pembelajaran PKn adalah memberikan
kompetensi berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
Kewarganegaraan serta berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab.
Kembali
ke soal mendidik dalam materi lembaga negara. Saya sih, inginnya,
dengan bangga menunjukkan betapa amanahnya wakil-wakil rakyat yang
dipilih melalui proses yang biayanya bisa buat nikah masal jomblo sak
Nusantara iku.
Pasti masih ada anggota-anggota lain yang
tidak seperti yang diberitakan. Namun mengingat tidak ada asap jika
tidak ada api, maka segala yang ada di berita itu pastilah ada sebab
musababnya.
Itu masih soal menjelaskan DPR yang korup, gak tahu
teko rapat, dan tukaran dewe gak karu-karuan. Belum kalau menjelaskan
soal anggota DPR yang nonton video porno, anggota DPR yang katanya
terlibat prostitusi online, anggota DPR dari kalangan artis yang setiap
reses selalu muncul di Dahsyat. Lalala, yeyeye, lalala, yeyeye…
Hadeeeh. Lama-lama saya sumpek sendiri harus membela nama DPR di depan siswa-siswa SD-ku. Tak resign ae lah! Arep dadi opo, Mbak? Tak dadi anggota DPR!
Cerpen: Berita dan nasi pecel
.
Category Me Stuffs
Cerpen: Sumini
.
Category Me Stuffs