About Me

My photo
I'm a teacher working in SD Islam Al Azhar 35 Surabaya and a freelance translator. Check my website surabayatranslate.com for further information about my translation or contact me @ 087852400566

Archive for February 2017

Pengalaman Mengurus Administrasi di Surabaya


.

Tulisan ini pernah dimuat di http://www.maknews.id/pengalaman-mengurus-administrasi-di-surabaya/

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman. Iyo yo, ngerti. Pengalamanku asline durung akeh. Tapi, apa salahnya berbagi. Yo, sopo eruh bermanfaat bagi yang lain.
Sebenarnya, saya bukan orang asli Surabaya. Saya adalah pendatang yang sudah nyaris 10 tahun bermukim di Kota Pahlawan. Namun, hal itu justru membuat apa yang saya ketahui tentang proses administrasi di Surabaya dan sekitarnya menjadi lebih kompleks.
Seluk beluk, tetek bengek, sluman-slumun, gandeng renteng #halah, tentang administrasi dan pengurusan kartu-kartu serta izin-izin yang beraneka jenis akan saya paparkan di sini. Nek onok mblesete, yo sepurane. Iling, Rek, iling! Aku iki menungso biyasa!
1. Hilang ATM
Seingat saya, sudah tiga kali saya kehilangan kartu ATM. Mungkin lebih, lho. Penyebab kartu saya hilang dulu kan karena saya pelupa. Kalau soal kartu ATM saja saya lupakan, apalagi jumlah kehilangannya, kan? *tik tok tik tok tik tok
Dari beberapa pengalaman, mengurus kehilangan kartu ATM BCA (dicoret ya, nanti dikira promosi) merupakan yang paling simpel. Sebab, nasabah tidak harus menyertakan surat kehilangan dari Polisi. Untuk kartu ATM bank lain, tampaknya masih butuh surat dari pak pulis.
Jadi, jangan lupa membawa selembar kertas berstempel korps bhayangkara itu jika mengurus kehilangan kartu ATM.
2. Pindah Nikah
Lha iyo, Rek. Koyok jare pepatah, asam di gunung garam di laut, bertemu jua di belanga. Aku di Banyuwangi, bojoku di Madura, takdirnya menikah di Surabaya. Oleh karena sama-sama ber-KTP luar Surabaya, pada 2011 lalu, kami pun “menumpang nikah” di kota ini.
Alhamdulillah, kota ini tidak keberatan kami tumpangi. Maklum, waktu itu saya masih kurus, begitu pula suami saya. Kami dulu bukan pasangan kelas berat. Lha kalau sekarang? No comment!
Mengurusnya tidak terlalu rumit. Cukup membawa surat pindah nikah dari daerah asal (laki dan perempuan). Lantas, didaftarkan di KUA wilayah berlangsungnya akad nikah.
Jadi, KTP masing-masing tetap berstempel luar Surabaya. Asalkan, disertakan foto kopi KTP saudara/keluarga yang berdomisili di wilayah berlangsungnya akad nikah. Paham kan maksudku? Yo pahamlah. Mosok ngono ae kudu tak baleni ping papat.
3. Pindah KTP
Ini saya lakukan di Sidoarjo dan paling menguras tenaga plus biaya. Saya harus mengurus pencabutan data dari KK tempat asal di Banyuwangi. Biar cepat, saya sendiri yang harus mengurusnya.
Runtang-runtung, kesana kemari, ngetan ngulon, ngalor ngidul, dari rumah Pak RT, sampai rumah Pak Camat, eh sori. Maksudnya, sampai kantor Dinas Kependudukan.
Kena biaya? Iyes. Biaya seikhlasnya di tingkat RT sampai Kecamatan. You know lah biaya apa itu.
“Niki wonten biayane, Pak?”
“Nggih sakwelase sak ikhlasne mawon, Mbak. Kula tampi!,”
Alhamdulillah, di kantor Dinas Kependudukan gratis. Lalu, sesampainya di Sidoarjo, saya minta tolong orang lain untuk menguruskan. Ehm…., semacam calo lah.
(Lha, semacam jare?! Opo rumangsane calo iku bermacam-macam?)
Yang jelas, kalau kita mengurus sendiri semua proses administrasi, biaya dapat ditekan seminim mungkin.
4. Mengurus KPR
Sekali lagi, saya mengurusnya di Sidoarjo. Eh, bukan saya ding. Tepatnya, suami saya. Nah, saat suami saya mengurus KPR, saya dengan setia mengurus suami saya #yomestiae #cuitcuitsokswit
Untuk pengurusan KPR waktu itu, awalnya kami menyerahkan uang Rp 1 juta kepada developer sebagai tanda jadi. Lalu, menyiapkan segala macam dokumen seperti KTP, buku nikah, slip gaji dan foto kopi buku tabungan.
Nah, menyiapkan slip gaji ini yang paling ribet karena profesi kami guru. Yok ai, guru seperti kami, penghasilannya kan gak besar. Apa mereka percaya pada kami, Tuan? Apalah kami ini, Tuan? Apa?!
Ceg kethok rodok akeh penghasilane, tak akali ae, sekalian tak sertakno kuitansi-kuitansi pembayaran les privat yang kami handle. Alhamdulillah, isih nutut, Rek. Lik e gelem ngeweki KPR.
Urusan ke bank diambil alih developer dan akhirnya aplikasi kami diterima BTN. Kini KPR kami sudah berjalan 3 tahun dan masih 12 tahun lagi. Huaaaaaaaa!
Tapi ingat, Suro Wani, Boyo Utang. Suroboyo, Wani Utang! Kapokmu kapan!
5. Mengurus paspor
Saya dua kali mengurus paspor. Pertama, buat baru. Kedua, perpanjangan. Dahulu kala sebelum ada aplikasi online, saya menggunakan biro jasa. Sekitar 6 tahun lalu, biayanya sekitar Rp 500 ribu.
Nah, Juni lalu saya memperpanjang paspor dengan mendaftar sendiri secara online. Karena khawatir antri, setelah melakukan pendaftaran online dan mendapat form bukti pendaftaran dan pembayaran, saya datang pagi-pagi sekali ke kantor imigrasi Waru.
Oh ya, pembayaran mengurus paspor via online ini hanya bisa di Bank BNI atau ATM BNI. Bukti pembayaran yang asli digunakan untuk mengambil paspor.
Saya datang pukul 6 pagi, dan antriannya luar biasa panjang hingga mencapai musholla di kantor imigrasi Perak, eh… Waru. Ceg dowone nek nganti Perak.
Tapi, bagi yang sudah mendaftar online, hanya akan antri sebentar di luar sampai masuk. Sebab, di dalam ruangan, akan dipisahkan mana yang mendaftar online dan mana yang offline.
Yang mendaftar online dikumpulkan di antrian tersendiri karena waktu pengurusannya bakal lebih singkat. Tidak sampai dua jam, saya sudah menyelesaikan wawancara dan foto. Tiga hari kemudian, saya sudah mendapatkan paspor. Hore! Ngelencer dong beb, ngelencer. Mosok neng pasar malem terus, beb…
6. Mengurus BPJS
Saya mendaftar BPJS secara online. Lantas, mengurus kelengkapannya dengan datang langsung ke kantor BPJS Dharmahusada. Saya sempat beberapa bulan tidak membayar iuran (Lupa. Ya, lagi-lagi karena lupa. Untung saya tidak pernah lupa kalau sudah berkeluarga). Maka itu, saat BPJS yang saya miliki diambilalih oleh tempat kerja, saya diminta melunasi tunggakan iuran terlebih dahulu.
Saya menggunakan BPJS saat melakukan pemeriksaan rutin kehamilan. Yang membuat saya sempat getem-getem, bidan dan dokter di puskesmas faskes 1 tidak pernah mau memberi surat rekomendasi untuk periksa di faskes yang lebih tinggi: rumah sakit.
Tapi selanjutnya saya paham, pasien baru boleh dirujuk jika memang diperlukan. Nek mung pengen endel supoyo isok perikso nang tempat dengan fasilitas lebih banyak, yo mohon maaf. Lha wong dengan fasilitas sederhana bisa diatasi, lapo kemelinthi pengen yang lebih dan lebih?!
Walhasil, selama kehamilan, saya periksa gratis di puskesmas (kecuali cek darah). Dan, kalau mau periksa lebih detail ke Rumah Sakit di Jemursari, saya rogoh kocek sendiri.
Hingga menjelang melahirkan, saya tak kunjung dapat rekomendasi dari faskes 1. Dokter jaga puskesmas tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Idealiasmenya mengingatkan saya pada Bung Karno #sayatahusayaberlebihan.
Dia bilang, kalaupun nanti saya tiba-tiba melahirkan, cukup datang ke rumah sakit dan meminta surat rujukan setelahnya. BPJS tetap akan berlaku. Mbuh, iki sakjane peraturane yok opo aku gak patek paham.
Karena ketidakjelasan tersebut, saya dan suami mulai mempersiapkan diri untuk lahiran dengan biaya sendiri.
Saya tepuk pundak suami sambil berkata, “Kang Mas, ilingo. Kula bakal ngelahirno nang RS ndek Suroboyo. Nah, Suroboyo iku artine, Suro Wani, Boyo Utang. Nek wonten menopomenopo, panjenengan kudu Suroboyo yo. Maksude, kudu wani utang,” demikian yang saya katakan dan disambut anggukan manja suami.
Ndilalah, saya pecah ketuban beberapa hari sebelum perkiraan. Tanpa pikir panjang, di malam yang sepi, kami meluncur ke RS di bilangan Jemursari. Awalnya, suster setempat tetap meminta rekomendasi dari faskes 1 kalau mau pakai BPJS.
Namun, terimakasih Bu suster, terimakasih rumah sakit, karena kondisi sudah mendesak sepeti angkot yang diisi wong wolulas, akhirnya saya tetap dilayani dengan baik. Menariknya, saya baru dimintai rekomendasi di hari saya keluar dari rumah sakit. Mbuh, iki sak jane peraturane yok opo aku gak patek paham (2).
Demikianlah sejumlah pengalaman saya. Sebenarnya masih banyak curhat pengalaman lain yang kalau dipaparkan semua bisa makan waktu rong dino rong wengi koyok wong jagong bayek. Gelem ta? Tidak, jangan terlalu lama baca curhatan saya. Nanti menular…
Oke deh kakak, salam super.

Susahnya Menjelaskan Kasus Setya Novanto Kepada Siswa SD


.

Tulisan ini pernah dimuat di
http://www.maknews.id/susahnya-menjelaskan-kasus-setya-novanto-kepada-siswa-sd/

Rek, Rek. Kon duwe anak atau adik yang masih imut-imut duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), gak? Atau, duwe dulur seng sek SD? Atau malah awakmu asline yo sek SD?
Kalau jawaban kamu yes, sekali-sekali coba lihat materi arek-arek iku, terutama mata pelajaran (mapel) PKn. Hayoo, koen. Ini pelajaran yang mana ya? Ada yang tahu? Bagi yang sudah tua (dan jomblo kadaluarsa), PKn adalah mata pelajaran yang dulu namanya PMP alias PPKn.
Di sekolah, selain sebagai wali kelas, saya kebagian mengajar mapel IPS, PKn dan Bahasa Inggris. Nah di pelajaran PKn dan IPS inilah saya banyak kejedok jedok. Bukan karena ga iso, secara aku guru gaul yoh! Kalau cuma ngapalno tugas-tugas lembaga negara, aku yo gampang. Gampang lali :p.
Saya seringkali terjedok-jedok dengan materi yang harus diterima oleh murid-murid saya yang masih imut-imut seimut gurunya itu ^_^…
Kejedoknya itu gini lho. Bayangkan, di pelajaran PKn, anak-anak diberi materi lembaga tinggi negara beserta tugas-tugasnya.
Mbokk, sampean saja pasti sejenak rodok mandek trus mikir, lembaga tinggi negara itu yang mana? Apa yang dipimpin Bapak Setya Novanto yang Papa Minta Saham tapi baperan, itu? Atau yang dipimpin menteri SS atau RK (yang kata Pak Menkumham sedang di luar negeri saat namanya ramai diberitakan bersama papa minta saham itu)?
Yak, yang dipimpin Papa Novanto itulah yang termasuk lembaga tinggi negara bersama beberapa lembaga lainnya. Eh eh, tapi bener ya Papa Novanto masih mimpin DPR? Soalnya kemarin katanya dia mundur? Pake spion gak? Habis mundur masuk penjara, kan? Ah, paling juga nggak jadi.
Nah mengajarkan lembaga tinggi negara ini mayan susah menurut saya, sekali lagi bukan karena ga iso, tapi… Begini, anak SD itu kan dunia yang paling dikenal adalah yang mereka lihat dan mereka rasakan, yang sedekat mungkin dengan mereka.
Nah makbedunduk mereka diajak ke awang-awang menerawang DPR, MPR, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Komisi Yudisial (KY), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), itu apa?
Kalau presiden, masih lumayan dekat lah ya, secara fotonya tersenyum selalu kepada mereka di kelas. Nah, lembaga-lembaga lainnya ini lho, apalagi di sebuah buku ditulis seperti ini:
Wewenang Mahkamah Agung adalah sebagai berikut:
1. Mengadili pada tingkat kasasi
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Sampean ae wes, yang nomor 2 mudeng, gak? Bukan bermaksud ngetes Are You Smarter Than 6th Graders lho ya, tapi untuk menjelaskan nomor 1 saja anak-anak masih perlu tahu tentang sidang dan pengertian kasasi plus contohnya. Maklum, anak SD jaman sekarang pada tidak manggut-manggut begitu saja kalau menemui kata yang baru apalagi aneh.
Untuk menjembatani dunia yang terlalu jauh itulah saya biasanya membarengi pengajaran dengan video (agar bisa dilihat) dan ndongeng (agar lebih dramatis dan menancap) atau meminta mereka melakukan observasi mandiri. Namanya saja mengajar anak-anak, maka yang lebih penting adalah mendidiknya. Kalo cuma ngajar, ketoke aku ga perlu tes berhari-hari saat masuk jadi guru dulu.
Muatan mendidik untuk materi lembaga tinggi negara, menurut saya, tentu berkaitan dengan amanah, kewajiban, kerja sama. Apalagi di buku anak-anak nyata ditulis, “Presiden juga melaksanakan tugas legislatif bersama DPR, antara lain dalam hal membentuk undang-undang dan membahas RAPBN yang diajukan pemerintah.”
Bayangno, urusan peraturan negoro seng sak mene ombone, urusan duwet seng mungkin aku ga iso moco nek ditulis ongkone, itu diatur oleh presiden bersama DPR.
Terus, dengan DPR yang kemarin saat rapat yang hadir hanya 144 orang dari 555 anggota sehingga rapat paripurnanya ditunda, dengan ketuanya yang terlibat skandal dan dipetisi orang banyak agar mundur, dengan hasil polling yang menurut masyarakat DPR adalah lembaga terkorup, aku kudu ngomong opo nang muridku? Aku kudu ngomong opo? Aku kudu ngomong opooo, Rek? *Nangis nang ngisore shower.
Misal, aku cerita apa adanya kepada mereka bahwa DPR sedang begitu (apa memang selalu begitu?). Opo aku gak nelongso dewe? Apalagi, di bab satunya, anak-anak mendapat materi tentang pemilu dan pemilukada. Ya, untuk memilih wakil-wakil rakyat tadi, bahwa bagi warga negara yang sudah memiliki hak untuk memilih agar menggunakan suaranya, kan jadi sambung menyambung ceritanya.
Selain itu, anak SD sekarang pegangannya gadget. Seringkali saya menugaskan mereka untuk melakukan early reading untuk mendapat wacana dari sumber selain buku. Tanpa saya ndongeng, dengan pemberitaan yang santer seperti inipun anak-anak kalau disuruh cari info tentang DPR pasti lebih banyak mendapat info yang negatif-negatif.
Saya pun harus menyiapkan jawaban kalau mereka bertanya, “Miss, kok gini, kenapa begitu?” Bisa saja saya jawab itu ulah oknum, manusia ada yang baik ada yang kurang baik. Tapi, oknum itu kan sedikit, kalau banyak begini, apa masih bisa disebut oknum?
Saya sebagai guru bisa saja cukup mengajarkan apa yang ada di buku dan tidak usah kemiyes mblarah kemana-mana. Tapi kalau hanya sebatas itu, maka tugas mendidik saya tidak terjalankan, dan juga tujuan pembelajaran PKn itu sendiri.
Karena, menurut Depdiknas, salah satu tujuan pembelajaran PKn adalah memberikan kompetensi berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan serta berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab.
Kembali ke soal mendidik dalam materi lembaga negara. Saya sih, inginnya, dengan bangga menunjukkan betapa amanahnya wakil-wakil rakyat yang dipilih melalui proses yang biayanya bisa buat nikah masal jomblo sak Nusantara iku.
Pasti masih ada anggota-anggota lain yang tidak seperti yang diberitakan. Namun mengingat tidak ada asap jika tidak ada api, maka segala yang ada di berita itu pastilah ada sebab musababnya.
Itu masih soal menjelaskan DPR yang korup, gak tahu teko rapat, dan tukaran dewe gak karu-karuan. Belum kalau menjelaskan soal anggota DPR yang nonton video porno, anggota DPR yang katanya terlibat prostitusi online, anggota DPR dari kalangan artis yang setiap reses selalu muncul di Dahsyat. Lalala, yeyeye, lalala, yeyeye
Hadeeeh. Lama-lama saya sumpek sendiri harus membela nama DPR di depan siswa-siswa SD-ku. Tak resign ae lah! Arep dadi opo, Mbak? Tak dadi anggota DPR!

Cerpen: Berita dan nasi pecel


.


Berita dan nasi pecel
“Pecel satu teh anget satu Bu.” Surya memesan makanan di warung makan langganannya. Ia senang karena warung tidak terlalu ramai seperti hari biasa. Di jam-jam ini kebanyakan mahasiswa lain lebih suka memeluk guling di kamar-kamar kos atau kontrakan mereka, melupakan sejenak perjuangan mendapatkan gelar sarjana dan selembar sertifikat yang mereka sendiri tidak yakin apakah akan membantu mereka bertahan di tengah ketatnya persaingan dunia kerja saat ini. Surya sendiri memiliki hobi lari sehingga setiap pagi bila ia senggang, ia berlari mengelilingi gang-gang sekitar tempat kosnya. Sering ia disapa ibu-ibu yang ada di depan rumah mereka sambil menyuapi anaknya, biasanya ia hanya mengangguk dan tersenyum menjawab sapaan tersebut.
            Sambil menunggu pesanannya ia membaca koran langganan warung tersebut. Koran ini seperti sudah menjadi bacaan wajib kebanyakan warga kota ini. Surya langsung mencari halaman olah raga untuk melihat berita seputar sepakbola. Matanya tertuju pada berita kekalahan Juventus dari … ia tampak serius mengikuti berita kekalahan tim jagoannya itu. Sayang tidak ada orang yang bisa diajak mengomentari. Ia tampak setuju dengan ulasan penulis mengenai analisis keterpurukan tim kesayangannya itu.
            Pecel dan teh hangat yang dia tunggupun datang. Ia sruput teh hangat yang warnanya sangat menggoda itu dan melanjutkan membolak-balikkan koran. Kali ini pandangannya berhenti pada judul “Diiringi Gerimis, Tahlilan Khusuk di Rumah Keluarga Bocah yang Mayatnya Ditemukan di Kardus.” Surya langsung menebak bahwa berita ini pasti tentang berita yang beberapa hari terakhir ramai menghiasi media TV dan media sosial. Biasanya ia tidak terlalu tertarik dengan berita-berita mengenai kekerasan dan kriminal, namun berita yang ramai diberitakan beberapa hari terakhir ikut menyita perhatiannya. Ia sangat tidak habis piker bagaimana bisa manusia melakukan hal biadab seperti yang ia saksikan di TV.
            Sekitar seminggu yang lalu ia membaca berita mengenai pengeroyokan dan pembunuhan dua aktivis tambang batu bara di Lumajang. Awalnya dia tidak tertarik dengan berita tersebut karena berita kriminal tentang pengeroyokan sudah sering lalu lalang di media sosialnya. Tapi saat berita tentang pengeroyokan aktivis tambang batu bara itu semakin meluas, ia menjadi ingin tahu lebih banyak mengenai hal tersebut. Dan, saat akhirnya ia membaca kronologi pengeroyokan hingga menyebabkan salah satu aktivis penolak tambang pasir tersebut meninggal, ia benar-benar menjadi terperangah, kehabisan kata untuk mengungkapkan betapa manusia dapat melakukan hal sekeji itu terhadap manusia demi beberapa rupiah saja. Ketidakhabispikirannya mengenai kejadian itu membuatnya mengikuti perkembangan berita itu.
            Pengeroyokan terhadap dua aktivis penolak tambang pasir di Lumajang itu dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap aktivitas penambangan pasir ilegal di pinggir pantai di sebuah daerah di lumajang. Parahnya, penambangan tersebut dibekingi oleh kepala desa daerah tersebut. Kepala desa itu bahkan memiliki anak buah yang disebut sebagai “Tim 12” yang bertugas mengamankan aktivitas penambangan pasir tersebut. Setiap harinya, menurut yang dibaca oleh Surya, ratusan truk pengangkut pasir mengangkuti pasir dari wilayah tersebut dan untuk setiap truk pasir yang mengangkut, si kepala desa menerima beberapa rupiah sebagai setoran wajib. Kegiatan ini sudah berlangsung beberapa tahun dan bukan tanpa penolakan warga. Pengeroyokan terhadap dua orang aktivis tersebutpun diawali dari aksi penolakan warga yang menyebabkan ditutpnya tambang pasir selama dua hari, dan saat penambangan kembali dibuka, warga beramai-ramai akan melakukan demonstrasi. Namun apa yang dilakukan si kepala desa, ia mengumpulkan anak buahnya tersebut dan meminta mereka melakukan aksi tandingan untuk menghentikan aksi penolakan tambang pasir. Dan akhirnya terjadilah pengeroyokan secara membabi buta dan sadis terhadap dua aktivis tambang tersebut.
            Berita ini akhirnya menjadi sangat besar hingga mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat. Media sosial saat ini benar-benar berperan sebagai whistle blower yang efektif untuk membuat sebuah berita menjadi terketahui secara luas dalam waktu sekejap. Surya membayangkan jika saja kejadian tersebut tidak terekspos oleh media sosial, apakah pengusutannya akan menjadi besar-besaran seperti ini?
            Perhatian yang besar terhadap kasus ini telah menyeret berbagai pihak menjadi tersangkut, bahkan MABES POLRI turun tangan menyelidiki kepolisian Lumajang untuk mencari keterkaitan dan kelalaian yang mereka lakukan terhadap tidak terendusnya rencana pengeroyokan itu. Tambang-tambang pasir illegal yang banyak beroperasi di wilayah Lumajang ditutup. Bupati wilayah itu memanggil kepala desa yang ada di wilayah Lumajang dan memerintahkan penutupan tambang-tambang pasir yang ada di wilayahnya. Diantara puluhan kepala desa yang hadir, hanya satu kepala desa yang tidak hadir karena dia ditetapka menjadi tersangka, yaitu kepala desa tempat terjadinya perkara tersebut. Beberapa anggota DPRD juga dikabarkan dipanggil untuk diperiksa terkait keterlibatan mereka dengan penambangan pasir illegal tersebut. Selama beberapa hari media-media nasional melaporkan perkembangan kasus tersebut dan apa-apa saja yang telah dilakukan oleh kepolisian untuk mengusut kasus itu.
            Namun ada satu hal yang menggelitik pikiran Surya. Mengapa baru sekarang, setelah ada nyawa melayang baru semua itu diusut. Haruskah para pendukung penutupan tambang pasir merasa bahagia karena akhirnya mereka ditanggapi setelah salah satu anggota mereka kehilangan nyawa?
            Belum juga surut berita mengenai pengusutan tambang pasir tersebut, kini muncul berita lain yang juga membuat ramai media sosial, yaitu penemuan mayat gadis kecil di dalam kardus. Dari tanda-tanda yang ditemukan, gadis kecil tersebut mengalami kekerasan seksual. Kali ini Surya semakin tidak habis piker, mengapa harus dengan cara sekeji itu untuk menyakiti dan menghilangkan nyawa, seorang anak kecil pula? Ia membayangkan adiknya yang ada di kota lain yang juga masih sekolah SD. Ia tidak bisa membayangkan jika hal tersebut terjadi pada adiknya. Bahkan ia sempat berpikir, jika dia adalah anggota keluarga gadis yang terbunuh tersebut, mungkin ia akan membunuh pelaku pembunuhan itu dengan cara yang keji pula seperti yang ia pernah saksikan di sebuah film thriller.
            Sampai pagi ini berita yang ia baca belum ada yang menyatakan siapa tersangka pembunuh gadis kecil itu. Surya akan terus mengikuti beritanya. Ingin rasanya ia menghubungi ibunya hanya untuk menyampaikan agar menjaga adiknya dengan lebih hati-hati, namun ia mengurungkan niatnya karena yakin Ibunya telah melakukannya dengan baik.
            Surya menyendok nasi pecelnya yang sudah mulai dingin. Setelah sendokan pertama ia masih membolak balikkan koran yang dibacanya, kali ini di halaman hiburan. Berita sampah, pikirnya. Bagaimana mungkin seorang yang dipanggil “artis’ terang-terangan membuka aib dirinya dan mengakui bahwa ialah wanita penghibur yang ramai diberitakan oleh media sosial. Bagi Surya artis yang tidak ia kenal itu hanya mencari sensasi. Pun media yang menulisnya hanya ingin mendapat perhatian. Namun toh Surya tetap membaca berita itu.
            Ia semakin lapar. Koran tersebut dia lipat dan diletakkan di meja sampingnya. Masih ada berita yang menarik perhatiannya namun dia memilih mengenyangkan perutnya terlebih dahulu.

Cerpen: Sumini


.



Sumini
Udara di Surabaya siang itu cukup terik. Warung-warung penjual es degan di pinggir jalan raya tampak lebih penuh dibanding hari biasanya. Pemandangan fatamorgana tampak di jalan-jalan raya yang dipenuhi kendaraan yang berlomba-lomba mengantarkan tuan-tuannya menuju tujuan masing-masing. Hujan sama sekali belum turun meskipun dalam teori seharusnya bulan ini sudah memasuki musim hujan. Mungkin ini adalah hasil do’a-do’a para penjual es yang menginginkan musim hujan datang nanti-nanti saja. Mereka sebenarnya paham bahwa negara ini sudah sangat membutuhkan hujan. Dari berita yang mereka saksikan dari TV kecil yang mereka letakkan di warung-warung mereka, mereka dapat menyaksikan bagaimana puluhan orang di tempat lain di wilayah negara ini sudah tumbang terkena gangguan pernafasan karena kabut asap. Diantara mereka, yang banyak menyimak berita di TV, sebenarnya ada tawaran bantuan dari negara tetangga untuk memadamkan asap kebakaran hutan, namun ditolak oleh pemerintah. Sampai di situ mereka tidak paham mengapa. Ada juga diantara mereka yang berpikir apa mungkin kebakaran hutan bisa dipadamkan dengan hanya mengandalkan pasukan TNI dan dengan menggunakan selang yang biasanya hanya digunakan memadamkan kebakaran gedung. Namun pada akhirnya mereka berdo’a agar musim panas tidak cepat berlalu, bagaimanapun urusan perut tetap prioritas walaupun tidak selalu nomor satu.
            Diantara berbagai kesibukan di tengah teriknya matahari siang itu, tampak sepasang suami istri yang usianya masih sekitar 30an tahun memarkir motor mereka di sebuah rumah sakit jiwa. RSJ tersebut adalah yang terbesar di kota Surabaya, dan di provinsi juga. Nama daerah rumah sakit tersebut, yaitu Menur, seringkali digunakan sebagai bahan olok-olok karena kebanyakan orang menganggap rumah sakit jiwa hanyalah tempat orang yang tidak waras. Dari tempat parkir pasangan tersebut berjalan sambil sesaat berbicara satu sama lain menuju ke sebuah bangunan di kompleks rumah sakit tersebut.  Sang suami tampak lebih mengenal area itu, tanpa bertanya sana-sini ia langsung menuju tempat yang ia maksud. Mereka menuju ruangan yang cukup besar dengan beberapa meja panjang dan kursi tersusun rapi layaknya ruang makan. Tampak beberapa perawat yang masih terlihat muda-muda, sepertinya perawat magang, duduk-duduk santai sembari mengobrol, beberapa sibuk dengan HP mereka dan empat perawat lainnya sedang menemani 3 pasien yang sedang makan snack yang dibungkus menyerupai snack ulang tahun. Pasien yang mereka tunggu tampak sedikit kusut namun tidak tampak seperti orang gila yang ada di jalanan. Yang satu tatapannya kosong namun tetap makan, yang satunya tampak ngobrol dengan dua porawat lainnya dan satunya memperhatikan perawat-perawat lain yang sedang ngobrol.
“Permisi.” Sang suami mengetuk pintu yang terbuka. “Iya, pak.” Jawab seorang perawat. “Mas saya mau menjenguk kakak saya, bisa ya?” Tanya sang suami ramah. “Oh, iya bisa silakan menemui pengawas dulu ya Pak, di ruang itu.” Jawab sang perawat sambil menunjuk sebuah ruang kecil di dalam bangunan itu juga. Setelah mengucapkan terima kasih mereka bergegas memasuki ruangan kecil tersebut. Sang istri, yang tampaknya baru sekali itu datang ke sana, tampak terheran-heran dengan semua yang ia lihat. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan pernah dalam hidupnya datang mengunjungi tempat yang sangat terkenal ini. Ia sering melewati rumah sakit ini, bahkan pernah menghadiri sebuah pertemuan di gedung yang juga ada di kompleks rumah sakit ini, namun ia tidak pernah menyangka bahwa ia datang ke sini karena ada orang yang ia kenal menjadi pasien di rumah sakit ini.
Pengawas ruangan menyambut mereka dengan ramah. Setelah menyampaikan maksud kedatangan mereka dan memberikan nama pasien yang mereka kunjungi, pengawas ruangan tersebut tampak antusias, “Kondisinya sudah mengalami kemajuan yang sangat baik Pak. Dia sudah bisa berbicara dengan tenang dan tidak lagi tertawa-tertawa sendiri. Dia selalu membantu petugas kebersihan mencuci piring, tampaknya ia gemar melakukan pekerjaan bersih-bersih. Setiap pagi ia rajin mengikuti olahraga namun tidak pernah mau tampil. Kalau ada kegiatan membuat kerajinan, ia biasanya menolak dan lebih melakukan bersih-bersih.” “Kira-kira kapan bisa dibawa pulang Bu?” Tanya sang suami. “Sumini sudah bisa pulang, tapi tetap kontrol sesuai nanti apa kata dokternya, tapi sekarang hari libur jadi baru besok bisa bertemu dengan dokternya dan sekaligus membayar administrasi. Sudah sekitar satu minggu ini Sumini menanyakan kapan bisa pulang, katanya ia rindu mencari uang. Kalau di sini tidak bisa dapat uang,” lanjut sang pengawas ruangn sambil tertawa. Pasangan suami istri tersebut mendengarkan dengan seksama.
Sebenarnya seudah sekitar seminggu lalu pasangan ini berniat menanyakan kepulangan kakak dari sang suami tersebut. Meskipun biayanya tidak semahal berobat fisik, tetap saja perkara biaya menjadi bahan pertimbangan mereka, apalagi kakak yang dirawat tersebut belum memiliki BPJS. Sebenarnya mereka saat ini tengah menguruskan BPJS untuk kakaknya tersebut, namun kondisi kakaknya yang semakin parah memaksa mereka bertindak lebih cepat membawanya ke rumah sakit jiwa. Masih teringat jelas hari itu saat kakaknya diantar ke rumah sakit dengan menggunakan sepeda motor oleh suaminya. Sempat terjadi penolakan dari sang kakak yang tetap bersikukuh mau mencari uang. Namun setelah dibujuk dan dijanjikan boleh bekerja jika bisa kembali normal, kakaknya menurut. Kondisi sang kakak sebenarnya tidak terlalu ekstrim, hanya saja ia semakin sering berada di luar rumah dan berbicara dan tertawa-tawa sendiri. Saat berada di luar rumah ia keluarkan semua barang-barang yang ia simpan di dalam kotak yang hanya ia sendiri yang tahu apa makna kotak tersebut.
Awalnya sang kakak tinggal bersama suaminya di perantauan. Sejak mereka baru menikah dan kini memiliki 2 anak yang sudah bersekolah di SD, mereka berdua gigih berjuang hingga bisa mengumpulkan banyak uang dan kehidupan perekonomian mereka menjadi jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggal di desa dan hanya menggantungkan hidupnya dari menjadi buruh tani. Baru beberapa tahun belakangan, adik terakhir dalam keluarga sang kakak, mendapat pekerjaan di kota dan dapat hidup dengan lebih layak meskipun tidak sebaik sang kakak, Sumini. Ketika si adik akhirnya menikah dengan wanita yang ia kenal di tempat kerjanya, Sumini pulalah yang menanggung sebagian besar biaya pernikahan adik bungsunya tersebut. Sejak masih muda Sumini memang bertekad untuk memperbaiki kondisi perekonomian keluarganya. Ia menerima pinangan pemuda dari tetangga desanya, karena saat itu mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu memperbaiki taraf hidup mereka. Sampai tahun lalupun Sumini dan keluarganya merasa beruntung karena suami Sumini tidak pernah merasa keberatan dengan bantuan-bantuan yang diberikan oleh Sumini kepada keluarganya, termasuk memperbaiki rumah orang tua Sumini yang sudah nyaris ambruk hingga berdiri kokoh dengan tempok dan keramik. Pun Sumini juga tidak keberatan jika Suaminya membelikan barang-barang untuk adik-adiknya, sepeda motor, TV, kulkas, belum lagi pinjaman-pinjaman lain yang tidak terlalu mereka hitung.
Kehidupan mereka nyaris sempurna di tanah rantau. Dari modal beberapa juta rupiah hasil sumbangan dalam acara pernikahan mereka, mereka berhasil membuka warung kecil-kecilan di kota Kendari. Kota ini dipilih karena ada kenalan suami sang kakak yang cukup berhasil dengan berbisnis di kota itu. Dengan bantuan kenalannya itu pulalah, Sumini dan suaminya berhasil mengembangkan jualan mereka hingga merambah bisnis minyak dan elektronik. Saking sibuknya mengurusi bisnis, mereka berdua jarang pulang namun tetap rajin mengirim kabar. Anak-anak mereka hanya dua kali saja bertemu nenek mereka di tanah Jawa.
Sekitar satu tahun yang lalu dunia Sumini runtuh. Segala kehidupan indahnya hangus bagaikan rumah yang hangus dimakan si jago merah dalam sekejap. Dunia yang mereka bangun bertahun-tahun kini hanya menyisakan rumah orang tua Sumini yang ia perbaiki dan beberapa benda yang ada di lemari untuk pajangan. Suatu pagi tahun lalu, Priyo, adik Sumini menerima telepon dari Sumini. “Mas Lani kena gagal ginjal, kata dokternya sudah parah, bagaimana ini.” Lalu Sumini menangis sesenggukan. Priyo menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kondisi kakak iparnya. Saat itu sebenarnya Priyo berpikir bahwa kondisi kakak iparnya memang sudah parah. Selama menikah saja sudah dua orang kenalan Priyo meninggal di usia muda karena gagal ginjal. Setelah berbicara dengan Sumini hari itu Priyo menyampaikan berita itu kepada istrinya. Mereka berpikir bahwa kondisinya memang tidak baik dan mereka harus menyiapkan kakak mereka dengan kondisi terburuk sekalipun.
            Sejak hari itu hampir setiap hari Sumini menghubungi Priyo mengenai kondisi suaminya. Memang dari kesemua saudaranya, Priyo paling banyak memberi masukan karena ia mengetahui lebih banyak dibandingkan saudara-saudaranya. Sumini sudah mengusahakan berbagai pengobatan untuk suaminya. Bukan hanya pengobatan rumah sakit, Sumini juga mencarikan pengobatan alternatif. Terakhir, ia juga menyampaikan bahwa ia melakukan amalan-amalan dan do’a-do’a untuk kesembuhan suaminya. Keluarga Lain sendiri kurang begitu memperhatikan kondisinya. Hal inilah yang semakin menambah kesedihan Sumini. “Mereka hanya perhatian kalau ada maunya. Sekarang kakaknya seperti ini tidak mau tahu urusannya. Aku tidak pernah cerita ke masmu bagaimana perlakuan keluarganya sekarang.” Curahan Sumini suatu hari. “Aku sudah tidak bisa mencari uang Yo, waktuku hanya kuhabiskan untuk menguru masmu. Anak-anak juga sudah tidak terlalu keurus.”
            Akhirnya diputuskan untuk membawa Lani ke Surabaya. Priyo berangkat untuk menjemput kakak iparnya dan kembali ke Surabaya bersama beserta Sumini dan anak-anaknya juga. Satu persatu toko Sumini tidak beroperasi karena ia sudah tidak bisa membagi waktu dan utamanya pikirannya. Hari itu kondisi Lani sudah cukup memburuk. Ia sudah harus melakukan cuci darah. Untuk beberapa hari Sumini dan keluarganya tinggal di rumah Priyo dan bolak balik ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian tubuh Lani mengalami pembengkakan. Lani sendiri terlihat tegar namun tidak dengan Sumini dan anak-anaknya. Priyo dan istrinyalah yang menjadi tumpuan untuk mengurus keluarga Lani. Saat-saat itu Sumini masih memiliki tabungan yang cukup untuk menanggung biaya pengobatan dan cuci darah suaminya, namun mereka semua paham bahwa kondisi tersebut tidak akan bertahan lama. Usaha Sumini di Kendari sudah tidak tahu lagi nasibnya. Priyo sendiri tidak begitu paham dunia bisnis sehingga ia tidak bisa banyak membantu dalam hal tersebut.
            Setelah beberapa kali melakukan cuci darah kondisi Lani semakin parah dan harapan untuk semakin menipis. Di sisi lain Sumini semakin terpuruk karena bisnisnya hancur dan dan keluarga suaminya tidak menunjukkan perhatian terhadap kondisi itu. Sesekali keluarga Lani datang menjenguk namun tidak memberikan perhatian yang diharapkan terutama dalam hal biaya. Lani sudah terlihat pasrah dengan kondisinya. Ia banyak berpesan kepada Sumini dan anak-anaknya. Yang paling membuat Priyo dan istrinya tidak tahan adalah saat anak-anak dan istri Lani bertangis-tangisan di depan Lani yang terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Betapa kehidupan dapat berbalik 180 derajat dalam waktu sekejap. Maka dalam pembicaraan Priyo dan istrinya dalam malam-malam yang sunyi, beberapa kali istri Priyo berandai-andai bagaimana jika Lani tidak melakukan gaya hidup seperti yang ia lakukan dan menjadi pemicu sakit yang menjangkitnya.
            Dari cerita yang ia dengar, Lani gemar minum jamu-jamu untuk menguatkan fisiknya agar kuat bekerja. Ia juga seringkali mengkonsumsi minuman ringan. Bagaimana jika saat itu ia tidak melakukan gaya hidup seperti itu? Apakah kondisinya akan menjadi berbeda? Apakah Sumini dan keluarganya akan tetap hidup bahagia jika Lani tidak menderita sakit seperti sekarang? Priyo lah yang menghentikan andai-andai istrinya dengan membawa pengetahuannya tentang takdir dan usaha. Menurunya kalau Tuhan sudah menakdirkan sesuatu maka akan selalu ada sesuatu yang menjadi penyebab, kalaupun bukan karena sakitnya Lani, jika keluarga Sumini sudah ditakdirkan mengalami musibah maka akan ada penyebab lain. Kalau sudah begitu istri Priyo akan terdiam dan memikirkan tentang takdir dan usaha.
            Akhirnya, setelah sekitar satu bulan Lani dirawat di Surabaya, ia menghembuskan nafas terakhir. Tidak dapat digambarkan perasaan Sumini pada saat itu. Di satu sisi ia sudah tahu sejak suaminya sakit bahwa ia mungkin tidak akan hidup lama lagi, namun di sisi lain ia belum rela. Satu-satunya hal yang masih ia syukuri adalah suaminya meninggal saat tidur, bukan dengan kesakitan di rumah sakit. Sumini sangat tidak menyukai kondisi rumah sakit tempat suaminya dirawat. Sebagai rumah sakit umum terbesar di Jawa Timur, rumah sakit ini selalu penuh dengan pasien-pasien rujukan dari berbagai daerah di sekitarnya. Seringkali pasien harus ditempatkan di lorong-lorong rumah sakit karena kamar sudah tidak dapat menampung. Sumini tidak bisa membawa suaminya ke kelas yang lebih tinggi atau rumah sakit yang fasilitasnya lebih baik karena semakin terbatasnya keuangan Sumini, sementara ia juga masih harus membayar pinjaman rutinnya ke beberapa bank.
            Sepeninggalan Lani, Sumini semakin stress. Dia sudah tidak lagi terlalu merawat dirinya sendiri dan bahkan anak-anaknya. Sehari-hari dia menghitung uang-uang yang telah habis selama suaminya sakit. Ia juga berkali-kali berniat menagih hutang saudara-saudara mendiang suaminya karena ia sakit hati tidak banyak dibantu saat suaminya sakit. Bahkan saat Sumini akhirnya pulang ke kampung halamannya dan tinggal bersama orangtuanya, tidak ada satupun saudara dari suaminya yang datang menjenguk, padahal mereka bertetangga desa. Sumini sendiri selama 2 kali mengunjungi mertuanya bersama dengan anak-anaknya namun tidak terlalu dianggap oleh mertuanya. Terakhir yang semakin membuat Sumini meradang adalah ia mendengar desas-desus bahwa keluarga suaminya menganggap Sumini kurang serius mengobatkan suaminya. Menurut mereka harta benda Sumini dan suaminya seharusnya cukup untuk membawa suaminya ke rumah sakit yang lebih baik, tapi mereka tidak mau menyampaikan itu ke Sumini karena takut dianggap terlalu ikut campur. Keluarga Sumini sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan perlakuan keluarga mendiang suami Sumini. Bagi mereka yang terpenting sekarang adalah menguatkan Sumini dan anak-anaknya. Mereka hanya berusaha menenangkan Sumini agar tidak terlalu mikir.
            Lama kelamaan Sumini semakin terlihat aneh. Dia jarang tidur malam dan menghabiskan waktunya untuk menghitung-hitung dan menulis-nulis dan berbicara sendiri. Setiap malam pula ibu Sumini mengingatkannya agar tidur. Siangnya Sumini semakin bergumam sendiri seolah-olah sedang membicarakan urusan bisnisnya dan berjualan. Priyo dan istrinya sempat sekali menjenguk Sumini dan berbicara banyak dengan Sumini. Sumini tak kalah banyak berbicara mengungkit-ungkit uang-uangnya yang banyak dipinjam saudara suaminya. Pernah suatu hari Sumini nekat menemui ibu mertuanya untuk menagih hutang adik iparnya. Namun mereka jawab bahwa kakaknya sudah menyatakan uang itu tidak perlu dikembalikan tanpa sepengetahuan Sumini.
            Priyo akhirnya membawa Sumini ke Surabaya dan tinggal di rumah Priyo. Di rumah Priyo yang tidak terlalu besar. Untung istri Priyo tidak keberatan dan ikut mencarikan informasi untuk kesembuhan Sumini. Sumini ingin bekerja lagi namun tidak ingin kembali ke Kendari, sementara Priyo menganggap kondisi Sumini saat ini tidak memungkinkan dirinya bekerja. Sebelum akhirnya rawat inap, Sumini pernah diperiksakan ke rumah sakit jiwa namun ia hanya mendapat obat penenang. Memang obat itu membuat Sumini lebih banyak tidur dan tenang, namun tidak membantu Sumini untuk jangka waktu yang lama. Akhirnya, setelah membicarakan dengan dua saudaranya yang lain dan mencari info mengenai rumah sakit jiwa, Priyo dan istrinya membawa Sumini ke rumah sakit jiwa untuk menjalani rawat inap.
            “Kenapa kok kamu jadi begini nduk..wes to uang itu tidak usah dipikir..ikhlas…” Ibu Sumini menangis saat ikut mengantarkan Sumini. Saat itu Sumini hanya senyum-senyum dan berkata,”heheh di sini ya sekarang. Nanti kalau sudah sembuh jualan lagi ya hehehe.” Dan sejak hari itu petugas rumah sakit menyarankan agar keluarga tidak terlalu khawatir terhadap Sumini dan agar keluarga tidak terlalu sering menjenguk agar Sumini tidak semakin memikirkan masalah yang ia bawa dari rumah. Anak-anak Sumini kini otomatis menjadi tanggungan Priyo dan dua kakaknya yang hanya bekerja serabutan. Priyo sangat merasa iba kepada kedua keponakannya tersebut karena mereka yang sebelumnya hidup berkecukupan dan apa-apa ada untuk mereka, kini bukan hanya harus terpisah dari kedua orang tuanya namun juga harus menjalani pola hidup baru yang jauh lebih sederhana. Untunglah Sumini dan Lani tidak terlalu memanjakan mereka, sehingga mereka masih bisa mengikuti kebiasaan baru di rumah neneknya dan makan seadanya, meskipun mereka sering menangis mencari ibunya.
            Kini Sumini siap pulang kembali. Priyo dan keluarganya membuatkan tempat berjualan gorengan di depan rumah orangtua mereka di desa, namun mereka akan melihat dulu apakah Sumini benar-benar bisa memulai bekerja lagi. Beberapa saat kemudian seorang perawat ditugaskan oleh pengawas ruangan tersebut untuk memanggilkan Sumini yang sedang berada di ruangan lain. Saat melihat Priyo, Sumini langsung menangis dan menubruk adiknya itu. “Aku mau pulang…  aku kangen anak-anak…” ucapnya di sela-sela tangisnya. Tak terasa istri Priyo juga ikut menangis melihat pemandangan yang mengharukan itu. “Silakan mas ngobrol-ngobrol dulu sama kakaknya, bisa duduk di kursi ruang sebelah.” Ujar pengawas memecah keharuan. Priyo lalu menuntun Sumini ke arah ruangan yang dimaksud. Istri Priyo bisa melihat suaminya juga sedang menahan air mata agar tidak jatuh, ini adalah pemandangan yang hampir tidak pernah ia saksikan sebelumnya.
            “Kata pengawasnya sudah bisa pulang mbak tapi harus menunggu dokternya masuk. Sekarang dokternya nggak ada soalnya hari libur. Jadi besok mbak Sum kujemput.” Priyo akhirnya membuka percakapan.”Lho nggak sekarang? Sekarang ngaak bisa?” Sumini terlihat kecewa. “Ngaak bisa mbak pengawasnya ngaak berani kan harus mengurus administrasi dan ijin dari dokternya.” Jawab Priyo menenangkan. “Tinggal beberapa jam aja kok mbak.” Timpal istri Priyo yang dari tadi tercengang. Sumini terdiam sejenak, lalu berkata dengan lirih, “Ya sudah. Tolong aku teleponkan anak-anak.” Priyo lalu dengan cepat menghubungi ibunya. Sumini lalu berbicara dengan ibunya, lalu dengan anaknya yang tertua. Dengan menangis ia meminta maaf kepada anaknya, “Maaf ya Nak Ibu nggak ngurusi kamu. Kamu lagi apa sekarang?” Istri Priyo tak kuasa menahan tangisnya. Dia lalu keluar melihat-lihat ruangan lain untuk mengalihkan pikirannya.
            Sekitar 30 menit kemudian Priyo dan istrinya berpamitan. Sumini sudah tampak lebih tegas sekarang dan mewanti-wanti, “besok jangan siang-siang ya.” “Ya mbak, nanti malam tidur yang tenang biar besok seger saat ketemu anak-anak.” Jawab Priyo memastikan. Setelah mengantarkan kembali kakaknya kepada pengawas ruangan, Priyo dan istrinya bergegas meninggalkan tempat itu. Masing-masing terdiam, sementara istri Priyo perlahan mengusap perutnya dan membatin, semoga kamu mengalami kehidupan yang lebih baik kelak nak.