Sumini
Udara
di Surabaya siang itu cukup terik. Warung-warung penjual es degan di pinggir
jalan raya tampak lebih penuh dibanding hari biasanya. Pemandangan fatamorgana
tampak di jalan-jalan raya yang dipenuhi kendaraan yang
berlomba-lomba mengantarkan tuan-tuannya menuju tujuan masing-masing. Hujan
sama sekali belum turun meskipun dalam teori seharusnya bulan ini sudah
memasuki musim hujan. Mungkin ini adalah hasil do’a-do’a para penjual es yang
menginginkan musim hujan datang nanti-nanti saja. Mereka sebenarnya paham bahwa
negara ini sudah sangat membutuhkan hujan. Dari berita yang mereka saksikan
dari TV kecil yang mereka letakkan di warung-warung mereka, mereka dapat
menyaksikan bagaimana puluhan orang di tempat lain di wilayah negara ini sudah
tumbang terkena gangguan pernafasan karena kabut asap. Diantara mereka, yang
banyak menyimak berita di TV, sebenarnya ada tawaran bantuan dari negara
tetangga untuk memadamkan asap kebakaran hutan, namun ditolak oleh pemerintah.
Sampai di situ mereka tidak paham mengapa. Ada juga diantara mereka yang
berpikir apa mungkin kebakaran hutan bisa dipadamkan dengan hanya mengandalkan
pasukan TNI dan dengan menggunakan selang yang biasanya hanya digunakan
memadamkan kebakaran gedung. Namun pada akhirnya mereka berdo’a agar musim
panas tidak cepat berlalu, bagaimanapun urusan perut tetap prioritas walaupun
tidak selalu nomor satu.
Diantara berbagai kesibukan di
tengah teriknya matahari siang itu, tampak sepasang suami istri yang usianya
masih sekitar 30an tahun memarkir motor mereka di sebuah rumah sakit jiwa. RSJ
tersebut adalah yang terbesar di kota Surabaya, dan di provinsi juga. Nama
daerah rumah sakit tersebut, yaitu Menur, seringkali digunakan sebagai bahan
olok-olok karena kebanyakan orang menganggap rumah sakit jiwa hanyalah tempat
orang yang tidak waras. Dari tempat parkir pasangan tersebut berjalan sambil
sesaat berbicara satu sama lain menuju ke sebuah bangunan di kompleks rumah
sakit tersebut. Sang suami tampak lebih
mengenal area itu, tanpa bertanya sana-sini ia langsung menuju tempat yang ia
maksud. Mereka menuju ruangan yang cukup besar dengan beberapa meja panjang dan
kursi tersusun rapi layaknya ruang makan. Tampak beberapa perawat yang masih
terlihat muda-muda, sepertinya perawat magang, duduk-duduk santai sembari
mengobrol, beberapa sibuk dengan HP mereka dan empat perawat lainnya sedang
menemani 3 pasien yang sedang makan snack yang dibungkus menyerupai snack ulang
tahun. Pasien yang mereka tunggu tampak sedikit kusut namun tidak tampak
seperti orang gila yang ada di jalanan. Yang satu tatapannya kosong namun tetap
makan, yang satunya tampak ngobrol dengan dua porawat lainnya dan satunya
memperhatikan perawat-perawat lain yang sedang ngobrol.
“Permisi.”
Sang suami mengetuk pintu yang terbuka. “Iya, pak.” Jawab seorang perawat. “Mas
saya mau menjenguk kakak saya, bisa ya?” Tanya sang suami ramah. “Oh, iya bisa
silakan menemui pengawas dulu ya Pak, di ruang itu.” Jawab sang perawat sambil
menunjuk sebuah ruang kecil di dalam bangunan itu juga. Setelah mengucapkan
terima kasih mereka bergegas memasuki ruangan kecil tersebut. Sang istri, yang
tampaknya baru sekali itu datang ke sana, tampak terheran-heran dengan semua
yang ia lihat. Ia tidak pernah berpikir bahwa ia akan pernah dalam hidupnya
datang mengunjungi tempat yang sangat terkenal ini. Ia sering melewati rumah
sakit ini, bahkan pernah menghadiri sebuah pertemuan di gedung yang juga ada di
kompleks rumah sakit ini, namun ia tidak pernah menyangka bahwa ia datang ke
sini karena ada orang yang ia kenal menjadi pasien di rumah sakit ini.
Pengawas
ruangan menyambut mereka dengan ramah. Setelah menyampaikan maksud kedatangan
mereka dan memberikan nama pasien yang mereka kunjungi, pengawas ruangan
tersebut tampak antusias, “Kondisinya sudah mengalami kemajuan yang sangat baik
Pak. Dia sudah bisa berbicara dengan tenang dan tidak lagi tertawa-tertawa
sendiri. Dia selalu membantu petugas kebersihan mencuci piring, tampaknya ia
gemar melakukan pekerjaan bersih-bersih. Setiap pagi ia rajin mengikuti
olahraga namun tidak pernah mau tampil. Kalau ada kegiatan membuat kerajinan,
ia biasanya menolak dan lebih melakukan bersih-bersih.” “Kira-kira kapan bisa
dibawa pulang Bu?” Tanya sang suami. “Sumini sudah bisa pulang, tapi tetap
kontrol sesuai nanti apa kata dokternya, tapi sekarang hari libur jadi baru
besok bisa bertemu dengan dokternya dan sekaligus membayar administrasi. Sudah
sekitar satu minggu ini Sumini menanyakan kapan bisa pulang, katanya ia rindu
mencari uang. Kalau di sini tidak bisa dapat uang,” lanjut sang pengawas ruangn
sambil tertawa. Pasangan suami istri tersebut mendengarkan dengan seksama.
Sebenarnya
seudah sekitar seminggu lalu pasangan ini berniat menanyakan kepulangan kakak
dari sang suami tersebut. Meskipun biayanya tidak semahal berobat fisik, tetap
saja perkara biaya menjadi bahan pertimbangan mereka, apalagi kakak yang
dirawat tersebut belum memiliki BPJS. Sebenarnya mereka saat ini tengah
menguruskan BPJS untuk kakaknya tersebut, namun kondisi kakaknya yang semakin
parah memaksa mereka bertindak lebih cepat membawanya ke rumah sakit jiwa.
Masih teringat jelas hari itu saat kakaknya diantar ke rumah sakit dengan
menggunakan sepeda motor oleh suaminya. Sempat terjadi penolakan dari sang
kakak yang tetap bersikukuh mau mencari uang. Namun setelah dibujuk dan
dijanjikan boleh bekerja jika bisa kembali normal, kakaknya menurut. Kondisi
sang kakak sebenarnya tidak terlalu ekstrim, hanya saja ia semakin sering
berada di luar rumah dan berbicara dan tertawa-tawa sendiri. Saat berada di
luar rumah ia keluarkan semua barang-barang yang ia simpan di dalam kotak yang
hanya ia sendiri yang tahu apa makna kotak tersebut.
Awalnya
sang kakak tinggal bersama suaminya di perantauan. Sejak mereka baru menikah
dan kini memiliki 2 anak yang sudah bersekolah di SD, mereka berdua gigih
berjuang hingga bisa mengumpulkan banyak uang dan kehidupan perekonomian mereka
menjadi jauh lebih baik dibandingkan saudara-saudaranya yang tinggal di desa
dan hanya menggantungkan hidupnya dari menjadi buruh tani. Baru beberapa tahun
belakangan, adik terakhir dalam keluarga sang kakak, mendapat pekerjaan di kota
dan dapat hidup dengan lebih layak meskipun tidak sebaik sang kakak, Sumini.
Ketika si adik akhirnya menikah dengan wanita yang ia kenal di tempat kerjanya,
Sumini pulalah yang menanggung sebagian besar biaya pernikahan adik bungsunya
tersebut. Sejak masih muda Sumini memang bertekad untuk memperbaiki kondisi
perekonomian keluarganya. Ia menerima pinangan pemuda dari tetangga desanya,
karena saat itu mereka memiliki cita-cita yang sama, yaitu memperbaiki taraf
hidup mereka. Sampai tahun lalupun Sumini dan keluarganya merasa beruntung
karena suami Sumini tidak pernah merasa keberatan dengan bantuan-bantuan yang diberikan
oleh Sumini kepada keluarganya, termasuk memperbaiki rumah orang tua Sumini
yang sudah nyaris ambruk hingga berdiri kokoh dengan tempok dan keramik. Pun
Sumini juga tidak keberatan jika Suaminya membelikan barang-barang untuk
adik-adiknya, sepeda motor, TV, kulkas, belum lagi pinjaman-pinjaman lain yang
tidak terlalu mereka hitung.
Kehidupan
mereka nyaris sempurna di tanah rantau. Dari modal beberapa juta rupiah hasil
sumbangan dalam acara pernikahan mereka, mereka berhasil membuka warung
kecil-kecilan di kota Kendari. Kota ini dipilih karena ada kenalan suami sang
kakak yang cukup berhasil dengan berbisnis di kota itu. Dengan bantuan
kenalannya itu pulalah, Sumini dan suaminya berhasil mengembangkan jualan
mereka hingga merambah bisnis minyak dan elektronik. Saking sibuknya mengurusi
bisnis, mereka berdua jarang pulang namun tetap rajin mengirim kabar. Anak-anak
mereka hanya dua kali saja bertemu nenek mereka di tanah Jawa.
Sekitar
satu tahun yang lalu dunia Sumini runtuh. Segala kehidupan indahnya hangus
bagaikan rumah yang hangus dimakan si jago merah dalam sekejap. Dunia yang
mereka bangun bertahun-tahun kini hanya menyisakan rumah orang tua Sumini yang
ia perbaiki dan beberapa benda yang ada di lemari untuk pajangan. Suatu pagi
tahun lalu, Priyo, adik Sumini menerima telepon dari Sumini. “Mas Lani kena
gagal ginjal, kata dokternya sudah parah, bagaimana ini.” Lalu Sumini menangis
sesenggukan. Priyo menanyakan beberapa pertanyaan mengenai kondisi kakak
iparnya. Saat itu sebenarnya Priyo berpikir bahwa kondisi kakak iparnya memang
sudah parah. Selama menikah saja sudah dua orang kenalan Priyo meninggal di
usia muda karena gagal ginjal. Setelah berbicara dengan Sumini hari itu Priyo
menyampaikan berita itu kepada istrinya. Mereka berpikir bahwa kondisinya
memang tidak baik dan mereka harus menyiapkan kakak mereka dengan kondisi
terburuk sekalipun.
Sejak hari itu hampir setiap hari
Sumini menghubungi Priyo mengenai kondisi suaminya. Memang dari kesemua
saudaranya, Priyo paling banyak memberi masukan karena ia mengetahui lebih
banyak dibandingkan saudara-saudaranya. Sumini sudah mengusahakan berbagai
pengobatan untuk suaminya. Bukan hanya pengobatan rumah sakit, Sumini juga
mencarikan pengobatan alternatif. Terakhir, ia juga menyampaikan bahwa ia melakukan
amalan-amalan dan do’a-do’a untuk kesembuhan suaminya. Keluarga Lain sendiri kurang
begitu memperhatikan kondisinya. Hal inilah yang semakin menambah kesedihan
Sumini. “Mereka hanya perhatian kalau ada maunya. Sekarang kakaknya seperti ini
tidak mau tahu urusannya. Aku tidak pernah cerita ke masmu bagaimana perlakuan
keluarganya sekarang.” Curahan Sumini suatu hari. “Aku sudah tidak bisa mencari
uang Yo, waktuku hanya kuhabiskan untuk menguru masmu. Anak-anak juga sudah
tidak terlalu keurus.”
Akhirnya diputuskan untuk membawa Lani ke Surabaya. Priyo berangkat untuk menjemput kakak iparnya dan kembali
ke Surabaya bersama beserta Sumini dan anak-anaknya juga. Satu persatu toko
Sumini tidak beroperasi karena ia sudah tidak bisa membagi waktu dan utamanya
pikirannya. Hari itu kondisi Lani sudah cukup memburuk. Ia sudah harus melakukan
cuci darah. Untuk beberapa hari Sumini dan keluarganya tinggal di rumah Priyo
dan bolak balik ke rumah sakit. Beberapa hari kemudian tubuh Lani mengalami
pembengkakan. Lani sendiri terlihat tegar namun tidak dengan Sumini dan anak-anaknya.
Priyo dan istrinyalah yang menjadi tumpuan untuk mengurus keluarga Lani.
Saat-saat itu Sumini masih memiliki tabungan yang cukup untuk menanggung biaya
pengobatan dan cuci darah suaminya, namun mereka semua paham bahwa kondisi
tersebut tidak akan bertahan lama. Usaha Sumini di Kendari sudah tidak tahu
lagi nasibnya. Priyo sendiri tidak begitu paham dunia bisnis sehingga ia tidak
bisa banyak membantu dalam hal tersebut.
Setelah beberapa kali melakukan cuci
darah kondisi Lani semakin parah dan harapan untuk semakin menipis. Di sisi lain
Sumini semakin terpuruk karena bisnisnya hancur dan dan keluarga suaminya tidak
menunjukkan perhatian terhadap kondisi itu. Sesekali keluarga Lani datang
menjenguk namun tidak memberikan perhatian yang diharapkan terutama dalam hal
biaya. Lani sudah terlihat pasrah dengan kondisinya. Ia banyak berpesan kepada
Sumini dan anak-anaknya. Yang paling membuat Priyo dan istrinya tidak tahan
adalah saat anak-anak dan istri Lani bertangis-tangisan di depan Lani yang
terbaring tidak berdaya di rumah sakit. Betapa kehidupan dapat berbalik 180
derajat dalam waktu sekejap. Maka dalam pembicaraan Priyo dan istrinya dalam
malam-malam yang sunyi, beberapa kali istri Priyo berandai-andai bagaimana jika Lani tidak melakukan gaya hidup seperti yang ia lakukan dan menjadi pemicu sakit
yang menjangkitnya.
Dari cerita yang ia dengar, Lani
gemar minum jamu-jamu untuk menguatkan fisiknya agar kuat bekerja. Ia juga
seringkali mengkonsumsi minuman ringan. Bagaimana jika saat itu ia tidak
melakukan gaya hidup seperti itu? Apakah kondisinya akan menjadi berbeda?
Apakah Sumini dan keluarganya akan tetap hidup bahagia jika Lani tidak menderita
sakit seperti sekarang? Priyo lah yang menghentikan andai-andai istrinya dengan
membawa pengetahuannya tentang takdir dan usaha. Menurunya kalau Tuhan sudah
menakdirkan sesuatu maka akan selalu ada sesuatu yang menjadi penyebab,
kalaupun bukan karena sakitnya Lani, jika keluarga Sumini sudah ditakdirkan
mengalami musibah maka akan ada penyebab lain. Kalau sudah begitu istri Priyo
akan terdiam dan memikirkan tentang takdir dan usaha.
Akhirnya, setelah sekitar satu bulan Lani dirawat di Surabaya, ia menghembuskan nafas terakhir. Tidak dapat
digambarkan perasaan Sumini pada saat itu. Di satu sisi ia sudah tahu sejak
suaminya sakit bahwa ia mungkin tidak akan hidup lama lagi, namun di sisi lain
ia belum rela. Satu-satunya hal yang masih ia syukuri adalah suaminya meninggal
saat tidur, bukan dengan kesakitan di rumah sakit. Sumini sangat tidak menyukai
kondisi rumah sakit tempat suaminya dirawat. Sebagai rumah sakit umum terbesar
di Jawa Timur, rumah sakit ini selalu penuh dengan pasien-pasien rujukan dari
berbagai daerah di sekitarnya. Seringkali pasien harus ditempatkan di
lorong-lorong rumah sakit karena kamar sudah tidak dapat menampung. Sumini
tidak bisa membawa suaminya ke kelas yang lebih tinggi atau rumah sakit yang
fasilitasnya lebih baik karena semakin terbatasnya keuangan Sumini, sementara
ia juga masih harus membayar pinjaman rutinnya ke beberapa bank.
Sepeninggalan Lani, Sumini semakin
stress. Dia sudah tidak lagi terlalu merawat dirinya sendiri dan bahkan
anak-anaknya. Sehari-hari dia menghitung uang-uang yang telah habis selama
suaminya sakit. Ia juga berkali-kali berniat menagih hutang saudara-saudara
mendiang suaminya karena ia sakit hati tidak banyak dibantu saat suaminya
sakit. Bahkan saat Sumini akhirnya pulang ke kampung halamannya dan tinggal
bersama orangtuanya, tidak ada satupun saudara dari suaminya yang datang
menjenguk, padahal mereka bertetangga desa. Sumini sendiri selama 2 kali
mengunjungi mertuanya bersama dengan anak-anaknya namun tidak terlalu dianggap
oleh mertuanya. Terakhir yang semakin membuat Sumini meradang adalah ia
mendengar desas-desus bahwa keluarga suaminya menganggap Sumini kurang serius
mengobatkan suaminya. Menurut mereka harta benda Sumini dan suaminya seharusnya
cukup untuk membawa suaminya ke rumah sakit yang lebih baik, tapi mereka tidak
mau menyampaikan itu ke Sumini karena takut dianggap terlalu ikut campur.
Keluarga Sumini sebenarnya tidak terlalu ambil pusing dengan perlakuan keluarga
mendiang suami Sumini. Bagi mereka yang terpenting sekarang adalah menguatkan
Sumini dan anak-anaknya. Mereka hanya berusaha menenangkan Sumini agar tidak
terlalu mikir.
Lama kelamaan Sumini semakin
terlihat aneh. Dia jarang tidur malam dan menghabiskan waktunya untuk menghitung-hitung
dan menulis-nulis dan berbicara sendiri. Setiap malam pula ibu Sumini
mengingatkannya agar tidur. Siangnya Sumini semakin bergumam sendiri
seolah-olah sedang membicarakan urusan bisnisnya dan berjualan. Priyo dan
istrinya sempat sekali menjenguk Sumini dan berbicara banyak dengan Sumini.
Sumini tak kalah banyak berbicara mengungkit-ungkit uang-uangnya yang banyak
dipinjam saudara suaminya. Pernah suatu hari Sumini nekat menemui ibu mertuanya
untuk menagih hutang adik iparnya. Namun mereka jawab bahwa kakaknya sudah
menyatakan uang itu tidak perlu dikembalikan tanpa sepengetahuan Sumini.
Priyo akhirnya membawa Sumini ke
Surabaya dan tinggal di rumah Priyo. Di rumah Priyo yang tidak terlalu besar.
Untung istri Priyo tidak keberatan dan ikut mencarikan informasi untuk
kesembuhan Sumini. Sumini ingin bekerja lagi namun tidak ingin kembali ke
Kendari, sementara Priyo menganggap kondisi Sumini saat ini tidak memungkinkan
dirinya bekerja. Sebelum akhirnya rawat inap, Sumini pernah diperiksakan ke rumah
sakit jiwa namun ia hanya mendapat obat penenang. Memang obat itu membuat
Sumini lebih banyak tidur dan tenang, namun tidak membantu Sumini untuk jangka
waktu yang lama. Akhirnya, setelah membicarakan dengan dua saudaranya yang lain
dan mencari info mengenai rumah sakit jiwa, Priyo dan istrinya membawa Sumini
ke rumah sakit jiwa untuk menjalani rawat inap.
“Kenapa kok kamu jadi begini
nduk..wes to uang itu tidak usah dipikir..ikhlas…” Ibu Sumini menangis saat
ikut mengantarkan Sumini. Saat itu Sumini hanya senyum-senyum dan
berkata,”heheh di sini ya sekarang. Nanti kalau sudah sembuh jualan lagi ya
hehehe.” Dan sejak hari itu petugas rumah sakit menyarankan agar keluarga tidak
terlalu khawatir terhadap Sumini dan agar keluarga tidak terlalu sering menjenguk
agar Sumini tidak semakin memikirkan masalah yang ia bawa dari rumah. Anak-anak
Sumini kini otomatis menjadi tanggungan Priyo dan dua kakaknya yang hanya
bekerja serabutan. Priyo sangat merasa iba kepada kedua keponakannya tersebut
karena mereka yang sebelumnya hidup berkecukupan dan apa-apa ada untuk mereka,
kini bukan hanya harus terpisah dari kedua orang tuanya namun juga harus
menjalani pola hidup baru yang jauh lebih sederhana. Untunglah Sumini dan Lani tidak terlalu memanjakan mereka, sehingga mereka masih bisa mengikuti kebiasaan
baru di rumah neneknya dan makan seadanya, meskipun mereka sering menangis
mencari ibunya.
Kini Sumini siap pulang kembali.
Priyo dan keluarganya membuatkan tempat berjualan gorengan di depan rumah
orangtua mereka di desa, namun mereka akan melihat dulu apakah Sumini
benar-benar bisa memulai bekerja lagi. Beberapa saat kemudian seorang perawat
ditugaskan oleh pengawas ruangan tersebut untuk memanggilkan Sumini yang sedang
berada di ruangan lain. Saat melihat Priyo, Sumini langsung menangis dan
menubruk adiknya itu. “Aku mau pulang…
aku kangen anak-anak…” ucapnya di sela-sela tangisnya. Tak terasa istri
Priyo juga ikut menangis melihat pemandangan yang mengharukan itu. “Silakan mas
ngobrol-ngobrol dulu sama kakaknya, bisa duduk di kursi ruang sebelah.” Ujar
pengawas memecah keharuan. Priyo lalu menuntun Sumini ke arah ruangan yang
dimaksud. Istri Priyo bisa melihat suaminya juga sedang menahan air mata agar
tidak jatuh, ini adalah pemandangan yang hampir tidak pernah ia saksikan
sebelumnya.
“Kata pengawasnya sudah bisa pulang
mbak tapi harus menunggu dokternya masuk. Sekarang dokternya nggak ada soalnya
hari libur. Jadi besok mbak Sum kujemput.” Priyo akhirnya membuka
percakapan.”Lho nggak sekarang? Sekarang ngaak bisa?” Sumini terlihat kecewa.
“Ngaak bisa mbak pengawasnya ngaak berani kan harus mengurus administrasi dan
ijin dari dokternya.” Jawab Priyo menenangkan. “Tinggal beberapa jam aja kok
mbak.” Timpal istri Priyo yang dari tadi tercengang. Sumini terdiam sejenak,
lalu berkata dengan lirih, “Ya sudah. Tolong aku teleponkan anak-anak.” Priyo
lalu dengan cepat menghubungi ibunya. Sumini lalu berbicara dengan ibunya, lalu
dengan anaknya yang tertua. Dengan menangis ia meminta maaf kepada anaknya,
“Maaf ya Nak Ibu nggak ngurusi kamu. Kamu lagi apa sekarang?” Istri Priyo tak
kuasa menahan tangisnya. Dia lalu keluar melihat-lihat ruangan lain untuk
mengalihkan pikirannya.
Sekitar 30 menit kemudian Priyo dan
istrinya berpamitan. Sumini sudah tampak lebih tegas sekarang dan
mewanti-wanti, “besok jangan siang-siang ya.” “Ya mbak, nanti malam tidur yang
tenang biar besok seger saat ketemu anak-anak.” Jawab Priyo memastikan. Setelah
mengantarkan kembali kakaknya kepada pengawas ruangan, Priyo dan istrinya
bergegas meninggalkan tempat itu. Masing-masing terdiam, sementara istri Priyo
perlahan mengusap perutnya dan membatin, semoga kamu mengalami kehidupan yang
lebih baik kelak nak.
