About Me

My photo
I'm a teacher working in SD Islam Al Azhar 35 Surabaya and a freelance translator. Check my website surabayatranslate.com for further information about my translation or contact me @ 087852400566

Cerpen: Negaraku, Shu dan negara ini


.



Negaraku, Shu dan negara ini
Jam sudah menunjukkan pukul 2.30 sore, masih ada waktu dua jam untuk sekedar melihat-lihat segala sesuatu yang ada di bandara terbesar di negara ini ini sebelum pesawat yang akan membawaku ke Amerika tinggal landas. Tak terasa sudah tiga tahun aku berada di negara ini, negara yang mengenalkanku pada dunia baru yang jauh dari yang kubayangkan saat aku masih berada di negara asalku. Kami dan beberapa pendukung kemerdekaan negara kami kami menyebut tanah kami “negara” meskipun kondisinya masih jauh dari negara-negara merdeka lainnya. Hingga saat ini kami masih berjuang untuk kemerdekaan tanah kami, dan meskipun tidak sepemberani saudara-saudaraku yang langsung terjun di medan konflik, aku merasa telah menjadi bagian dari perjuangan itu.
Aku datang ke negara ini dengan membawa satu mimpi, mimpi untuk mendapatkan pendidikan yang dapat kugunakan untuk memperjuangkan negaraku. Meskipun kecil dan tidak sampai mempertaruhkan nyawaku, aku telah membuka mata beberapa orang mengenai kondisi negaraku. Akupun tidak yakin seberapa besar dampak membuka mata tersebut untuk perjuangan kami, tapi aku yakin aku telah melakukan sesuatu.
Dengan bantuan dari kakakku yang telah menetap di Amerika, aku dapat menempuh pendidikan master di universitas Islam internasional yang ada di negara ini. Setelah menghabiskan waktu satu tahun untuk mengikuti pendidikan bahasa Inggris yang menjadi persyaratan utama untuk dapat diterima menjadi mahasiswa universitas tersebut, aku berhasil menyelesaikan program masterku tepat waktu. Ya, aku tidak boleh berlama-lama menghabiskan waktu hanya untuk sekedar menikmati pesona dan kebaikan orang-orang yang kutemui di sini. Kakakkupun harus berjuang untuk dapat membantu membiayai pendidikanku. Dengan modal kewarganegaraan Amerika yang ia peroleh setelah menikahi wanita berkewarganegaraan Amerika, kakakku dapat hidup lebih layak dibandingkan dengan kakak-kakakku yang lain yang masih tetap tinggal bersama kedua orang tuaku di negara asalku.
Bukan tanpa sebab kakak pertamaku memilih meninggalkan negara kami dan menetap di negara barunya, dan bukan tanpa sebab pula saudaraku yang lain bertahan di negara kami meskipun mungkin dengan perjuangan lebih mereka dapat mengikuti kakakku. Kami semua memiliki alasan, prinsip yang kami satu sama lain mengerti. Dan bukan tanpa sebab pula, kini, aku memilih mengikuti kakak pertamaku dan tidak kembali ke negaraku. Bukan karena aku ingin kenyamanan, bukan pula karena aku kehilangan harapan.
Hari pertama aku datang ke negara ini, sudah banyak teman-teman baru yang juga berasal dari negaraku membantuku mulai mengurus tempat tinggalku hingga segala keperluanku. Universitas tempatku belajar sebenarnya menyediakan asrama bagi mahasiswa dengan harga yang jauh lebih terjangkau dari apartemen yang kutempati, tapi aku tidak suka  berada di asrama karena asrama berarti orang-orang yang kau kenal akan banyak tahu tentang dirimu dan mengurusi apa yang kau lakukan. Aku memilih tinggal di sebuah apartemen yang cukup sederhana dan kubayar dengan dengan kerja paroh waktu sebagai pengajar Bahasa Arab di sebuah lembaga pengajaran Bahasa Arab di kompleks apartemen yang kutinggali.  
Di apartemen itulah aku mulai melihat hal baru yang tidak ada di negaraku. Aku berkenalan dengan orang dari Cina, dari Afrika, dari negara Asia lainnya dan dengan orang dari negara-negara sekitar asalku. Terkadang aku heran bagaimana bisa kami semua hidup dengan santai dan nyaman dengan segala perbedaan itu. Tapi yang kulihat di sekitar apartemenku belum seberapa dibandingkan saat aku pergi ke pusat kota negara ini. Rasanya semua orang dari berbagai belahan dunia ada di kota itu. Dengan gaya yang mereka bawa dari negaranya masing-masing. Di tengah-tengah gedung pencakar langit yang menghiasi setiap bagian kota tersebut aku justru jarang melihat penduduk asli negra ini. Entahlah, mungkin mereka lebih menyukai kehidupan yang lebih tenang di pinggir-pinggir kota atau telah melebur terlalu lebur dengan seluruh macam orang yang ada di kota itu.
Salah satu tetangga apartemenku sering mengajakku ke tempat-tempat baru. Dia berasal dari negara yang sama denganku, tapi kami berasal dari kota yang berbeda. Kurasa bukan masalah kota asal kami yang membuatnya berbeda, tapi mungkin dia sangat nyaman dengan kondisi negara ini dan dengan teman-teman barunya yang ia temui di sini. Kami seperti membawa misi yang berbeda, ia dengan kebebasan yang sesuai dengan pandangannya sendiri dan akupun demikian. Terlalu banyak wanita cantik dari beberapa negara yang telah ia kenalkan padaku. Kurasa mereka sebatas bertemu satu atau dua kali, namun tidak ada batas diantara mereka. Aku tidak terlalu tertarik. Kecantikan yang kulihat dari wanita-wanita tersebut tidak sama dengan yang kulihat di negaraku. Ibuku, kakakku, teman-teman seperjuanganku di sana. Kecantikan yang sedikit tertutup bukan oleh panasnya udara atau tandusnya padang pasir. Tapi oleh kebebasan yang dirampas dan hak yang tidak diperoleh. Beberapa wanita yang dikenalkan oleh temanku itu seringkali menghubungiku baik datang secara langsung ke apartemenku atau hanya melalui kontak telepon dan aku media sosialku. Mulai dari ajakan sekedar menikmati sisha hingga mengunjungi tempat wisata di sebuah pulau pernah kuterima. Aku belum juga tertarik.
Negara ini memang indah. Segala keindahan ada di sini. Dari keindahan eloknya masjid hingga eloknya pinggang terbuka wanita dapat dengan mudah ditemui di sini. Saat menikmati kopi di sebuah coffee shop aku dapat menikmati pemandangan wanita berjilbab dengan eloknya bersanding dengan wanita dengan paha terbuka yang juga tak kalah elok. Bagaimana mungkin dua pemandangan yang begitu kontras itu bisa terlihat tanpa ada masalah apapun muncul? Bagaimana orang-orang mengatur kondisi yang serba bertentangan satu sama lain ini terjadi? Lambat laun aku mulai memahami bahwa salah satu kekuatan negara ini memang berasal dari berbagai macam orang yang datang ke negara ini. Dengan sebuah universitas Islam internasional yang dimilikinya, ribuan mahasiswa dari berbagai negara islam memilih untuk belajar di negara ini. Selain pendidikan bertaraf internasional tersebut, keindahan dan fasilitas-fasilitas pencuci mata benar-benar mampu menjadi pilihan lain alasan mereka memilih negara ini. Di sisi lain, tempat-tempat wisata dan pusat-pusat perbelanjaan merk kelas dunia dapat dengan mudah ditemui di sudu-sudut kota ini yang membuat ribuan wisatawan dari berbagai negara di dunia lebih memilih negara ini dibandingkan negara lain yang hanya menyediakan wisata alam. Di negara ini, terutama di pusat kotanya, kita seperti cukup datang di satu tempat dan semua hal ada di dalamnya. Sampai detik ini aku masih belum menuntaskan penelitianku sendiri bagaimana negara ini bisa menjadi seperti ini, dengan segala kemajemukannya, dengan segala protes-protes warganya.
Pernah terjadi demonstrasi besar-besaran di pusat kota yang membuatku tertarik untuk melihat lebih jauh. Demo tersebut menentang pemerintah yang sedang berkuasa. Mereka menuntut pemimpin pemerintahan negara ini turun menyusul tuduhan korupsi yang diarahkan kepadanya. Dengan segala slogan keagamaannya, negara ini nyatanya tidak jauh dari negara-negara lainnya. Isu korupsi, isu perdagangan manusia, isu maraknya wanita pekerja seksual seringkali menghiasi media-media lokal. Saat terjadi demo terbesar yang pernah kulihat, dan yang katanya juga terbesar di negara ini, aku berkenalan dengan seorang wartawati dari Cina. Dialah wanita pertama yang kuanggap dekat denganku selama aku berada di negara ini. Tadinya kupikir ia adalah bagian dari para pendemo. Sejujurnya aku tidak dapat membedakan orang dari Asia timur.
Awal perkenalan kami terjadi saat ia mencari tempat duduk di rumah makan yang saat itu ramai dengan orang yang juga ingin menyaksikan demo tersebut sama sepertiku. Dia yang datang untuk bergabung di mejaku. Hingga sekarang aku tidak tahu apakah dia menyadari kekikukanku pada saat itu. Aku memang tidak biasa bergaul dengan wanita. Kalaupun ada kenalan baru kami biasanya hanya berkontak bersama teman-teman lainnya. Tanpa kuminta ia mengenalkan dirinya. Shu, itu namanya. Sampai sekarang aku kesulitan mengingat nama lengkapnya. Bertemu orang dari Asia imur baru saat itu seumur hidupku. Kami menggunkan Bahasa Inggris dengan logat kami masing-masing, aku dengan aksen Arab dan dia dengan aksen Cina. Begitu banyak hal yang kami bicarakan saat itu hingga kami lupa pada tujuan awal kami yaitu menyaksikan demo tersebut. Ia adalah wartawati lepas, penulis blog ia menyebut pekerjaannya. Ia biasa bepergian ke berbagai negara dan menuliskan hal-hal unik yang ia temukan di blognya. Aku penah beberapa kali, atas permintaannya membuka blognya. Tapi aku lebih suka mendengarkan isinya darinya langsung.
Aku tidak banyak berbicara saat pertemuan pertama kami itu. Aku hanya sebatas menceritakan apa yang kulakukan di negara ini dan asalku. Tanpa kusangka ia mengajak bertukar nomor HP dan sehari kemudian ia mengubungiku. Mungkin karena saat itu aku mengenalnya tanpa dikenalkan oleh temanku seperti biasanya, aku bisa menerima ajakannya. Saat itu ia menjemputku di apartemen dan mengajakku ke Central Market. Bagiku tidak ada yang istimewa dari tempat ini kecuali berbagai macam barang yang dijual di dalamnya dengan harga yang lebih rendah dari yang kulihat di pusat perbelanjaan yang pernah kukunjungi. Ia menawar beberapa barang dan mengambil foto di beberapa tempat dengan kameranya yang terlihat mahal. Alangkah bagus hidupnya, ia bebas melakukan yang ia suka dan pergi ke tempat-tempat baru dengan mendapat bayaran pula. Aku teringat kakak-kakakku, betapa jauh mereka dari kehidupan yang dijalani wanita ini. Jangankan untuk sekedar jalan-jalan ke negara tetangga, menyisakan uang untuk sedikit bersenang-senangpun jarang mereka lakukan.
Pada pertemuan kami tersebut ia banyak bertanya tentang negaraku. Aku cukup terkejut saat ia mengatakan seandainya ia tahu sejak pendangan pertama bahwa aku berasal dari negaraku, ia tidak akan meminta duduk di kursi dekatku pada hari pertama itu. Ia sempat berpikir aku bukan orang Arab karena aku lebih terlihat seperti orang Amerika selatan. Kupikir ia bercanda, tapi ia melanjutkan bahwa ia memang menghindari berhubungan dengan orang dari Timur tengah karena berbagai kehawatiran. Namun ia tidak menemukan kehawatiran setelah berbicara denganku di hari pertama itu.  Ada rasa marah dan tidak terima saat Shu mengungkapkan segala yang ia rasakan tentang warga Timur tengah. Yang juga membuatku geram adalah ia juga menceritakan gaya hidup orang Arab yang ia temui di negara ini, apalagi kalau bukan menikmati keindahan wanita layaknya orang-orang dari negara lain yang terbiasa dengan kehidupan bebas.
Pertemuan ke dua kami berlangsung lebih lama. Aku hanya bercerita tentang kondisi negaraku tanpa menyentuh keluargaku, berkebalikan dengannya yang lebih suka menceritakan tentang keluarganya. Aku dapat melihat bagaimana ia terperangah mengetahu bahwa ada kekuatan yang mengaku negara juga yang memberlakukan check point atau pos pemeriksaan yang membatasi akses warga kami menuji tempat-tempat lain. Orang yang tidak pernah membaca tentang kondisi negara kami atau berkunjung langsung ke negara kami tidak akan pernah membayangkan bagaiman keberadaan checkpoint tersebut telah membuat ratusan wanita harus melahirkan dalam perjalanan karena tidak mendapat waktu yang cukup menuju fasilitas kesehatan karena keharusan melewati checkpoint yang diajag oleh pasukan militer penjajah negara kami. Bahwa ada tembok dengan panjang berkilo-kilo meter dibuat dengan paksa oleh kekuatan yang kini mendiami tanah kami, tembok yang dibangun untuk memisahkan wilayah yang mereka rebut dari kami. Tembok yang jika saja bisa diruntuhkan, akan menunjukkan betapa di sisi satunya bangunan-banguanan mewah berdiri dengan kokohnya di tanah kami, sementara di sisi satunya bangunan-bangunan yang kondisinya jauh dari sisi sebelahnya berdiri, dengan orang-orang di dalamnya mengalami diskriminasi. Pertemuan ke dua kami berakhir dengan ketertarikannya untuk mencari tahu lebih banyak tentang negaraku. Sampai saat itu aku belum tertarik untuk lebih tahu tentang negaranya.
Aku mengambil Master jurusan Ilmu Politik dengan harapan bahwa aku akan dapat menggunakan nilmu yang kupelajari untuk berbuat sesuatu untuk negaraku. Dibalik segala kesusahan yang kami hadapi di negara kami, orang selalu memberi perhatian lebih kepada kami, seperti yang kudapatkan di universitasku. Dosen-dosen yang mengajarku selalu menyempatkan diri untuk membahas permasalahan negaraku dengan penuh perhatian dan simpati, dan aku sangat menghargai perlakuan mereka terhadapku dan teman-teman dari negaraku. Sering aku berhayal seandainya semua warga negaraku dapat merasakan perlakuan yang sangat hangat ini. Aku berencana membuat thesis mengenai usaha usaha perjuangan negaraku. Sudah banyak masukan yang kuperoleh dan beberapa dosen pengajarku bahkan sudah menawarkan untuk memberikan bimbingan. Tapi aku mulai berpikir bahwa gadis penulis yang baru kukenal ini akan dapat member banyak bantuan kepadaku. Cara pandang dan berpikirnya sangat luas untuk hal-hal yang baru ia ketahui, bahkan yang menyangkut politik.
Suatu hari Shu menyampaikan padaku bahwa ia ingin mengunjungi kampusku, aku melihat ia mulai tertarik untuk melihat kehidupan kampus yang di dalamnya dipenuhi orang-orang Arab. Aku memenuhi permintaannya dan ia datang dengan pakaian yang membuatku terkesiap. Ia memakai baju muslim layaknya wanita negara ini yang berpakain muslim. Saat itu, aku merasa ia sangat cantik. Aku mengajaknya menemui seorang dosen untuk menyerahkan satu tugas di luar kelas. Dosenku tampak tertarik dengan kehadiran kami berdua, namun ia tidak mengatakan apapun dan sekedar menyapa Shu saja. Sepanjang jalan banyak mata-mata yang melihat aneh ke arah kami, aku tidak peduli. Shu lebih banyak mengambil foto di tempat-tempat yang kami tuju dan mengamai sekeliling kami. Beberapa hari kemudian dia menunjukkan tulisannya tentang pengalamannya hari itu kepadaku. Seperti yang kutebak, aku menyukai tulisannya.
Semakin lama kami semakin akrab dan semakin sering bertukar pikiran. Ia banyak membantuku mencari informasi dan meberi masukan untuk tugas-tugas kuliah dalam bentuk tulisan. Saat kami pergi ke suatu tempat, selalu banyak mata yang memandangi kami dengan keheranan. Kupikir mungkin kami berasal dari ras yang sangat jauh. Beberapa temanku bertanya mengenai Shu, tapi aku tidak ingin menceriakan lebih jauh selain menyampaikan bahwa Shu teman baikku. Kami memang teman baik. Kini aku mulai bercerita tentang keluargaku. Tentang kakakku yang pernah dipenjara oleh penjajah negara kami karena ia terlalu berani menentang, tentang dua kakak perempuanku yang di masa mudanya sudah memiliki banyak anak dan masih harus menghadapi suaminya yang terkadang semena-mena, hingga tentang orang tuaku yang merindukan kakak pertamaku untuk pulang dan membawa keluarganya untuk dikenalkan dengan orang tuaku. Kakak tertuaku yang ada di Amerika bukan hanya tidak pernah pulang, ia bahkan belum memiliki anak bahkan hingga usianya sudah layak mendapat cucu saat ini. Aku sendiri tidak terlalu paham dengan kondisi pernikahan kakak pertamaku meskipun kami lebih sering berkomunikasi akhir-akhir ini. Yang aku tahu ia menikah untuk mendapat kewarganegaraan, dan istrinya kini lebih sering berada di kota lain. Aku berteman dengan istrinya di media sosial dan ia cukup aktif member perhatian kepadaku. Aku lihat kakakku kesepian. Pernah ia menyampaikan padaku bahwa ia ingin pulang mengunjungi orang tuaku, tapi ia ingin pulang nanti bersamaku. Aku belum memikirkannya. Kini yang mejadi fokusku adalah aku lulus tepat waktu dan melakukan sesuatu yang berarti bagi negaraku.
Setelah beberapa minggu hari-hariku kulewati bersama dengan Shu, suatu hari ia menyampaikan kepadaku ia harus kembali ke negaranya. Aku tidak tahu perasaanku saat itu, tapi aku merasa ada sesuatu yang pergi, ada kekosongan yang kurasakan bahkan sebelu ia meninggalkan negara ini. Ia banyak bercerita pada hari itu, dan berkomitmen untuk selalu menghubungiku dan bertukar pikiran seperti sebelumnya meskipun hanya lewat media sosial.
Hari itu aku mengantarnya di bandara, di bandara ini. Di tempat yang kududuki ini kami sempat bercakap-cakap sembari menunggu penerbangannya. Ia mengatakan akan kembali mengunjungi negara ini suatu hari nanti sebelum aku menyelesaikan belajarku, tapi hingga detik ini, pertemuan hari itu adalah pertemuan terakhirku dengannya di dunia nyata. Aku tidak mengharapkan apa-apa setelah ia kembali ke negaranya, namun yang berbeda terjadi padanya. Sekitar satu minggu setelah kepulangannya ia menuliskan email yang sangat panjang. Aku baca berulang-ulang emailnya, aku berusaha memahami isinya, aku merasa paham, namun aku tidak bisa menerimanya.
Ia jatuh cinta padaku. Itu saja inti emailnya. Berhalaman-halaman tulisannya tentang kekagumannya padaku tak dapat kuingat jelas. Yang masih terekam dengan baik di benakku adalah ia mengajakku menikah, ia menjanjikan kehidupan yang labih baik dengan membangun hidup yang baru dengannya. Ia bahkan rela ikut aku ke negaraku dan berjuang dengan caranya di negaraku. Ia rela berganti agamanya jika itu menjadi syarat untuk menikah denganku. Ia merasa telah jatuh cinta juga pada negaraku dan orang-orang dari negaraku, berharap dapat merasakan hidup di negara asalku. Beberapa hari aku memikirkan emailnya tanpa membalas dengan satu kalimatpun. Bukan karena aku bingung apakah akan menerimanya atau tidak, aku bahkan belum memikirkan untuk menikah. Aku hanya tidak memahami bagaimana ia bisa berkeinginan untuk menikah denganku. Kami tidak pernah membicarakan hal seperti ini dalam pertemuan-pertemuan kami. Apakah wanita sepandai itu memendam perasaannya? Tiga hari kemudian kubalas emailnya. Kusampaikan padanya ia salah sangka terhadap hubungan kami, aku tidak mengharapkan apa-apa dari hubungan kami, aku hanya ingin semua berjalan seperti yang sudah terjadi, tanpa harapan, dan aku tidak ingin memberinya harapan. Kuterima lagi email yang panjang darinya. Ia memilih mundur, karena melanjutkan hubungan denganku hanya akan membuatnya menderita. Aku tidak membalasnya lagi dan hingga saat ini aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya.
Tapi, aku tidak tahu mengapa hari ini aku memilih duduk di tempat yang pernah menjadi saksi pertemuan terakhir kami ini. Mungkin aku hanya malas mencari tempat lain. Kini, dengan gelar masterku, dengan harapanku untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di negara kakakku, negara yang sebenarnya tidak kuharapkan dapat menolong negaraku, aku akan melangkahkan kakiku di sana. Entah apa yang akan dapat kuperbuat di sana. Aku belum juga dapat membuat perubahan yang berarti bagi negaraku, sementara tanpa diriku, untuk pertama kalinya bendera negaraku telah berkibar di markas PBB beberapa hari yang lalu. Kini orang semakin mengetahui tentang Palestina, negaraku yang masih akan kutinggalkan untuk beberapa waktu. Apapun efek dari pengibaran bendera kami, ada harapan baru bagi kami bahwa suatu saat nanti kami akan dapat hidup dengan kebebasan sesuai cara negara kami sendiri. Akupun masih akan berjuang dengan caraku, cara yang aku masih belum tahu. Aku bergegas memasuki ruang tunggu yang telah memanggilku. Kupandangi sejenak pesawat China Sourthern Airline yang akan membawaku menuju negri baru. Dengan semua kenangan yang pernah kudapat di negara ini.
 

Your Reply