Negaraku, Shu dan negara ini
Jam
sudah menunjukkan pukul 2.30 sore, masih ada waktu dua jam untuk sekedar
melihat-lihat segala sesuatu yang ada di bandara terbesar di negara ini ini
sebelum pesawat yang akan membawaku ke Amerika tinggal landas. Tak terasa sudah
tiga tahun aku berada di negara ini, negara yang mengenalkanku pada dunia baru
yang jauh dari yang kubayangkan saat aku masih berada di negara asalku. Kami
dan beberapa pendukung kemerdekaan negara kami kami menyebut tanah kami “negara”
meskipun kondisinya masih jauh dari negara-negara merdeka lainnya. Hingga saat
ini kami masih berjuang untuk kemerdekaan tanah kami, dan meskipun tidak
sepemberani saudara-saudaraku yang langsung terjun di medan konflik, aku merasa
telah menjadi bagian dari perjuangan itu.
Aku
datang ke negara ini dengan membawa satu mimpi, mimpi untuk mendapatkan
pendidikan yang dapat kugunakan untuk memperjuangkan negaraku. Meskipun kecil
dan tidak sampai mempertaruhkan nyawaku, aku telah membuka mata beberapa orang
mengenai kondisi negaraku. Akupun tidak yakin seberapa besar dampak membuka
mata tersebut untuk perjuangan kami, tapi aku yakin aku telah melakukan
sesuatu.
Dengan
bantuan dari kakakku yang telah menetap di Amerika, aku dapat menempuh
pendidikan master di universitas Islam internasional yang ada di negara ini.
Setelah menghabiskan waktu satu tahun untuk mengikuti pendidikan bahasa Inggris
yang menjadi persyaratan utama untuk dapat diterima menjadi mahasiswa
universitas tersebut, aku berhasil menyelesaikan program masterku tepat waktu. Ya,
aku tidak boleh berlama-lama menghabiskan waktu hanya untuk sekedar menikmati
pesona dan kebaikan orang-orang yang kutemui di sini. Kakakkupun harus berjuang
untuk dapat membantu membiayai pendidikanku. Dengan modal kewarganegaraan
Amerika yang ia peroleh setelah menikahi wanita berkewarganegaraan Amerika,
kakakku dapat hidup lebih layak dibandingkan dengan kakak-kakakku yang lain
yang masih tetap tinggal bersama kedua orang tuaku di negara asalku.
Bukan
tanpa sebab kakak pertamaku memilih meninggalkan negara kami dan menetap di
negara barunya, dan bukan tanpa sebab pula saudaraku yang lain bertahan di
negara kami meskipun mungkin dengan perjuangan lebih mereka dapat mengikuti
kakakku. Kami semua memiliki alasan, prinsip yang kami satu sama lain mengerti.
Dan bukan tanpa sebab pula, kini, aku memilih mengikuti kakak pertamaku dan
tidak kembali ke negaraku. Bukan karena aku ingin kenyamanan, bukan pula karena
aku kehilangan harapan.
Hari
pertama aku datang ke negara ini, sudah banyak teman-teman baru yang juga
berasal dari negaraku membantuku mulai mengurus tempat tinggalku hingga segala
keperluanku. Universitas tempatku belajar sebenarnya menyediakan asrama bagi
mahasiswa dengan harga yang jauh lebih terjangkau dari apartemen yang
kutempati, tapi aku tidak suka berada di
asrama karena asrama berarti orang-orang yang kau kenal akan banyak tahu
tentang dirimu dan mengurusi apa yang kau lakukan. Aku memilih tinggal di
sebuah apartemen yang cukup sederhana dan kubayar dengan dengan kerja paroh
waktu sebagai pengajar Bahasa Arab di sebuah lembaga pengajaran Bahasa Arab di
kompleks apartemen yang kutinggali.
Di
apartemen itulah aku mulai melihat hal baru yang tidak ada di negaraku. Aku
berkenalan dengan orang dari Cina, dari Afrika, dari negara Asia lainnya dan
dengan orang dari negara-negara sekitar asalku. Terkadang aku heran bagaimana
bisa kami semua hidup dengan santai dan nyaman dengan segala perbedaan itu.
Tapi yang kulihat di sekitar apartemenku belum seberapa dibandingkan saat aku
pergi ke pusat kota negara ini. Rasanya semua orang dari berbagai belahan dunia
ada di kota itu. Dengan gaya yang mereka bawa dari negaranya masing-masing. Di
tengah-tengah gedung pencakar langit yang menghiasi setiap bagian kota tersebut
aku justru jarang melihat penduduk asli negra ini. Entahlah, mungkin mereka
lebih menyukai kehidupan yang lebih tenang di pinggir-pinggir kota atau telah
melebur terlalu lebur dengan seluruh macam orang yang ada di kota itu.
Salah
satu tetangga apartemenku sering mengajakku ke tempat-tempat baru. Dia berasal
dari negara yang sama denganku, tapi kami berasal dari kota yang berbeda.
Kurasa bukan masalah kota asal kami yang membuatnya berbeda, tapi mungkin dia
sangat nyaman dengan kondisi negara ini dan dengan teman-teman barunya yang ia
temui di sini. Kami seperti membawa misi yang berbeda, ia dengan kebebasan yang
sesuai dengan pandangannya sendiri dan akupun demikian. Terlalu banyak wanita
cantik dari beberapa negara yang telah ia kenalkan padaku. Kurasa mereka
sebatas bertemu satu atau dua kali, namun tidak ada batas diantara mereka. Aku
tidak terlalu tertarik. Kecantikan yang kulihat dari wanita-wanita tersebut
tidak sama dengan yang kulihat di negaraku. Ibuku, kakakku, teman-teman
seperjuanganku di sana. Kecantikan yang sedikit tertutup bukan oleh panasnya
udara atau tandusnya padang pasir. Tapi oleh kebebasan yang dirampas dan hak
yang tidak diperoleh. Beberapa wanita yang dikenalkan oleh temanku itu
seringkali menghubungiku baik datang secara langsung ke apartemenku atau hanya
melalui kontak telepon dan aku media sosialku. Mulai dari ajakan sekedar
menikmati sisha hingga mengunjungi tempat wisata di sebuah pulau pernah
kuterima. Aku belum juga tertarik.
Negara
ini memang indah. Segala keindahan ada di sini. Dari keindahan eloknya masjid
hingga eloknya pinggang terbuka wanita dapat dengan mudah ditemui di sini. Saat
menikmati kopi di sebuah coffee shop aku dapat menikmati pemandangan wanita
berjilbab dengan eloknya bersanding dengan wanita dengan paha terbuka yang juga
tak kalah elok. Bagaimana mungkin dua pemandangan yang begitu kontras itu bisa
terlihat tanpa ada masalah apapun muncul? Bagaimana orang-orang mengatur
kondisi yang serba bertentangan satu sama lain ini terjadi? Lambat laun aku
mulai memahami bahwa salah satu kekuatan negara ini memang berasal dari
berbagai macam orang yang datang ke negara ini. Dengan sebuah universitas Islam
internasional yang dimilikinya, ribuan mahasiswa dari berbagai negara islam
memilih untuk belajar di negara ini. Selain pendidikan bertaraf internasional
tersebut, keindahan dan fasilitas-fasilitas pencuci mata benar-benar mampu
menjadi pilihan lain alasan mereka memilih negara ini. Di sisi lain,
tempat-tempat wisata dan pusat-pusat perbelanjaan merk kelas dunia dapat dengan
mudah ditemui di sudu-sudut kota ini yang membuat ribuan wisatawan dari
berbagai negara di dunia lebih memilih negara ini dibandingkan negara lain yang
hanya menyediakan wisata alam. Di negara ini, terutama di pusat kotanya, kita
seperti cukup datang di satu tempat dan semua hal ada di dalamnya. Sampai detik
ini aku masih belum menuntaskan penelitianku sendiri bagaimana negara ini bisa
menjadi seperti ini, dengan segala kemajemukannya, dengan segala protes-protes
warganya.
Pernah
terjadi demonstrasi besar-besaran di pusat kota yang membuatku tertarik untuk
melihat lebih jauh. Demo tersebut menentang pemerintah yang sedang berkuasa.
Mereka menuntut pemimpin pemerintahan negara ini turun menyusul tuduhan korupsi
yang diarahkan kepadanya. Dengan segala slogan keagamaannya, negara ini
nyatanya tidak jauh dari negara-negara lainnya. Isu korupsi, isu perdagangan
manusia, isu maraknya wanita pekerja seksual seringkali menghiasi media-media
lokal. Saat terjadi demo terbesar yang pernah kulihat, dan yang katanya juga
terbesar di negara ini, aku berkenalan dengan seorang wartawati dari Cina.
Dialah wanita pertama yang kuanggap dekat denganku selama aku berada di negara
ini. Tadinya kupikir ia adalah bagian dari para pendemo. Sejujurnya aku tidak
dapat membedakan orang dari Asia timur.
Awal
perkenalan kami terjadi saat ia mencari tempat duduk di rumah makan yang saat
itu ramai dengan orang yang juga ingin menyaksikan demo tersebut sama
sepertiku. Dia yang datang untuk bergabung di mejaku. Hingga sekarang aku tidak
tahu apakah dia menyadari kekikukanku pada saat itu. Aku memang tidak biasa
bergaul dengan wanita. Kalaupun ada kenalan baru kami biasanya hanya berkontak
bersama teman-teman lainnya. Tanpa kuminta ia mengenalkan dirinya. Shu, itu
namanya. Sampai sekarang aku kesulitan mengingat nama lengkapnya. Bertemu orang
dari Asia imur baru saat itu seumur hidupku. Kami menggunkan Bahasa Inggris
dengan logat kami masing-masing, aku dengan aksen Arab dan dia dengan aksen
Cina. Begitu banyak hal yang kami bicarakan saat itu hingga kami lupa pada
tujuan awal kami yaitu menyaksikan demo tersebut. Ia adalah wartawati lepas,
penulis blog ia menyebut pekerjaannya. Ia biasa bepergian ke berbagai negara
dan menuliskan hal-hal unik yang ia temukan di blognya. Aku penah beberapa
kali, atas permintaannya membuka blognya. Tapi aku lebih suka mendengarkan
isinya darinya langsung.
Aku
tidak banyak berbicara saat pertemuan pertama kami itu. Aku hanya sebatas
menceritakan apa yang kulakukan di negara ini dan asalku. Tanpa kusangka ia
mengajak bertukar nomor HP dan sehari kemudian ia mengubungiku. Mungkin karena
saat itu aku mengenalnya tanpa dikenalkan oleh temanku seperti biasanya, aku
bisa menerima ajakannya. Saat itu ia menjemputku di apartemen dan mengajakku ke
Central Market. Bagiku tidak ada yang istimewa dari tempat ini kecuali berbagai
macam barang yang dijual di dalamnya dengan harga yang lebih rendah dari yang
kulihat di pusat perbelanjaan yang pernah kukunjungi. Ia menawar beberapa
barang dan mengambil foto di beberapa tempat dengan kameranya yang terlihat
mahal. Alangkah bagus hidupnya, ia bebas melakukan yang ia suka dan pergi ke
tempat-tempat baru dengan mendapat bayaran pula. Aku teringat kakak-kakakku,
betapa jauh mereka dari kehidupan yang dijalani wanita ini. Jangankan untuk
sekedar jalan-jalan ke negara tetangga, menyisakan uang untuk sedikit
bersenang-senangpun jarang mereka lakukan.
Pada
pertemuan kami tersebut ia banyak bertanya tentang negaraku. Aku cukup terkejut
saat ia mengatakan seandainya ia tahu sejak pendangan pertama bahwa aku berasal
dari negaraku, ia tidak akan meminta duduk di kursi dekatku pada hari pertama
itu. Ia sempat berpikir aku bukan orang Arab karena aku lebih terlihat seperti
orang Amerika selatan. Kupikir ia bercanda, tapi ia melanjutkan bahwa ia memang
menghindari berhubungan dengan orang dari Timur tengah karena berbagai
kehawatiran. Namun ia tidak menemukan kehawatiran setelah berbicara denganku di
hari pertama itu. Ada rasa marah dan
tidak terima saat Shu mengungkapkan segala yang ia rasakan tentang warga Timur
tengah. Yang juga membuatku geram adalah ia juga menceritakan gaya hidup orang
Arab yang ia temui di negara ini, apalagi kalau bukan menikmati keindahan
wanita layaknya orang-orang dari negara lain yang terbiasa dengan kehidupan
bebas.
Pertemuan
ke dua kami berlangsung lebih lama. Aku hanya bercerita tentang kondisi
negaraku tanpa menyentuh keluargaku, berkebalikan dengannya yang lebih suka
menceritakan tentang keluarganya. Aku dapat melihat bagaimana ia terperangah
mengetahu bahwa ada kekuatan yang mengaku negara juga yang memberlakukan check point atau pos pemeriksaan yang
membatasi akses warga kami menuji tempat-tempat lain. Orang yang tidak pernah
membaca tentang kondisi negara kami atau berkunjung langsung ke negara kami
tidak akan pernah membayangkan bagaiman keberadaan checkpoint tersebut telah
membuat ratusan wanita harus melahirkan dalam perjalanan karena tidak mendapat
waktu yang cukup menuju fasilitas kesehatan karena keharusan melewati
checkpoint yang diajag oleh pasukan militer penjajah negara kami. Bahwa ada
tembok dengan panjang berkilo-kilo meter dibuat dengan paksa oleh kekuatan yang
kini mendiami tanah kami, tembok yang dibangun untuk memisahkan wilayah yang
mereka rebut dari kami. Tembok yang jika saja bisa diruntuhkan, akan
menunjukkan betapa di sisi satunya bangunan-banguanan mewah berdiri dengan
kokohnya di tanah kami, sementara di sisi satunya bangunan-bangunan yang
kondisinya jauh dari sisi sebelahnya berdiri, dengan orang-orang di dalamnya
mengalami diskriminasi. Pertemuan ke dua kami berakhir dengan ketertarikannya
untuk mencari tahu lebih banyak tentang negaraku. Sampai saat itu aku belum
tertarik untuk lebih tahu tentang negaranya.
Aku
mengambil Master jurusan Ilmu Politik dengan harapan bahwa aku akan dapat
menggunakan nilmu yang kupelajari untuk berbuat sesuatu untuk negaraku. Dibalik
segala kesusahan yang kami hadapi di negara kami, orang selalu memberi
perhatian lebih kepada kami, seperti yang kudapatkan di universitasku.
Dosen-dosen yang mengajarku selalu menyempatkan diri untuk membahas
permasalahan negaraku dengan penuh perhatian dan simpati, dan aku sangat
menghargai perlakuan mereka terhadapku dan teman-teman dari negaraku. Sering
aku berhayal seandainya semua warga negaraku dapat merasakan perlakuan yang
sangat hangat ini. Aku berencana membuat thesis mengenai usaha usaha perjuangan
negaraku. Sudah banyak masukan yang kuperoleh dan beberapa dosen pengajarku
bahkan sudah menawarkan untuk memberikan bimbingan. Tapi aku mulai berpikir
bahwa gadis penulis yang baru kukenal ini akan dapat member banyak bantuan
kepadaku. Cara pandang dan berpikirnya sangat luas untuk hal-hal yang baru ia
ketahui, bahkan yang menyangkut politik.
Suatu
hari Shu menyampaikan padaku bahwa ia ingin mengunjungi kampusku, aku melihat
ia mulai tertarik untuk melihat kehidupan kampus yang di dalamnya dipenuhi
orang-orang Arab. Aku memenuhi permintaannya dan ia datang dengan pakaian yang
membuatku terkesiap. Ia memakai baju muslim layaknya wanita negara ini yang
berpakain muslim. Saat itu, aku merasa ia sangat cantik. Aku mengajaknya
menemui seorang dosen untuk menyerahkan satu tugas di luar kelas. Dosenku
tampak tertarik dengan kehadiran kami berdua, namun ia tidak mengatakan apapun
dan sekedar menyapa Shu saja. Sepanjang jalan banyak mata-mata yang melihat
aneh ke arah kami, aku tidak peduli. Shu lebih banyak mengambil foto di
tempat-tempat yang kami tuju dan mengamai sekeliling kami. Beberapa hari
kemudian dia menunjukkan tulisannya tentang pengalamannya hari itu kepadaku.
Seperti yang kutebak, aku menyukai tulisannya.
Semakin
lama kami semakin akrab dan semakin sering bertukar pikiran. Ia banyak
membantuku mencari informasi dan meberi masukan untuk tugas-tugas kuliah dalam
bentuk tulisan. Saat kami pergi ke suatu tempat, selalu banyak mata yang
memandangi kami dengan keheranan. Kupikir mungkin kami berasal dari ras yang
sangat jauh. Beberapa temanku bertanya mengenai Shu, tapi aku tidak ingin
menceriakan lebih jauh selain menyampaikan bahwa Shu teman baikku. Kami memang
teman baik. Kini aku mulai bercerita tentang keluargaku. Tentang kakakku yang
pernah dipenjara oleh penjajah negara kami karena ia terlalu berani menentang,
tentang dua kakak perempuanku yang di masa mudanya sudah memiliki banyak anak
dan masih harus menghadapi suaminya yang terkadang semena-mena, hingga tentang
orang tuaku yang merindukan kakak pertamaku untuk pulang dan membawa
keluarganya untuk dikenalkan dengan orang tuaku. Kakak tertuaku yang ada di
Amerika bukan hanya tidak pernah pulang, ia bahkan belum memiliki anak bahkan
hingga usianya sudah layak mendapat cucu saat ini. Aku sendiri tidak terlalu
paham dengan kondisi pernikahan kakak pertamaku meskipun kami lebih sering
berkomunikasi akhir-akhir ini. Yang aku tahu ia menikah untuk mendapat
kewarganegaraan, dan istrinya kini lebih sering berada di kota lain. Aku
berteman dengan istrinya di media sosial dan ia cukup aktif member perhatian
kepadaku. Aku lihat kakakku kesepian. Pernah ia menyampaikan padaku bahwa ia
ingin pulang mengunjungi orang tuaku, tapi ia ingin pulang nanti bersamaku. Aku
belum memikirkannya. Kini yang mejadi fokusku adalah aku lulus tepat waktu dan
melakukan sesuatu yang berarti bagi negaraku.
Setelah
beberapa minggu hari-hariku kulewati bersama dengan Shu, suatu hari ia
menyampaikan kepadaku ia harus kembali ke negaranya. Aku tidak tahu perasaanku
saat itu, tapi aku merasa ada sesuatu yang pergi, ada kekosongan yang kurasakan
bahkan sebelu ia meninggalkan negara ini. Ia banyak bercerita pada hari itu, dan
berkomitmen untuk selalu menghubungiku dan bertukar pikiran seperti sebelumnya
meskipun hanya lewat media sosial.
Hari
itu aku mengantarnya di bandara, di bandara ini. Di tempat yang kududuki ini
kami sempat bercakap-cakap sembari menunggu penerbangannya. Ia mengatakan akan kembali
mengunjungi negara ini suatu hari nanti sebelum aku menyelesaikan belajarku,
tapi hingga detik ini, pertemuan hari itu adalah pertemuan terakhirku dengannya
di dunia nyata. Aku tidak mengharapkan apa-apa setelah ia kembali ke negaranya,
namun yang berbeda terjadi padanya. Sekitar satu minggu setelah kepulangannya
ia menuliskan email yang sangat panjang. Aku baca berulang-ulang emailnya, aku
berusaha memahami isinya, aku merasa paham, namun aku tidak bisa menerimanya.
Ia
jatuh cinta padaku. Itu saja inti emailnya. Berhalaman-halaman tulisannya
tentang kekagumannya padaku tak dapat kuingat jelas. Yang masih terekam dengan
baik di benakku adalah ia mengajakku menikah, ia menjanjikan kehidupan yang
labih baik dengan membangun hidup yang baru dengannya. Ia bahkan rela ikut aku
ke negaraku dan berjuang dengan caranya di negaraku. Ia rela berganti agamanya
jika itu menjadi syarat untuk menikah denganku. Ia merasa telah jatuh cinta
juga pada negaraku dan orang-orang dari negaraku, berharap dapat merasakan
hidup di negara asalku. Beberapa hari aku memikirkan emailnya tanpa membalas
dengan satu kalimatpun. Bukan karena aku bingung apakah akan menerimanya atau
tidak, aku bahkan belum memikirkan untuk menikah. Aku hanya tidak memahami
bagaimana ia bisa berkeinginan untuk menikah denganku. Kami tidak pernah
membicarakan hal seperti ini dalam pertemuan-pertemuan kami. Apakah wanita
sepandai itu memendam perasaannya? Tiga hari kemudian kubalas emailnya.
Kusampaikan padanya ia salah sangka terhadap hubungan kami, aku tidak
mengharapkan apa-apa dari hubungan kami, aku hanya ingin semua berjalan seperti
yang sudah terjadi, tanpa harapan, dan aku tidak ingin memberinya harapan.
Kuterima lagi email yang panjang darinya. Ia memilih mundur, karena melanjutkan
hubungan denganku hanya akan membuatnya menderita. Aku tidak membalasnya lagi
dan hingga saat ini aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya.
Tapi,
aku tidak tahu mengapa hari ini aku memilih duduk di tempat yang pernah menjadi
saksi pertemuan terakhir kami ini. Mungkin aku hanya malas mencari tempat lain.
Kini, dengan gelar masterku, dengan harapanku untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik di negara kakakku, negara yang sebenarnya tidak kuharapkan dapat
menolong negaraku, aku akan melangkahkan kakiku di sana. Entah apa yang akan
dapat kuperbuat di sana. Aku belum juga dapat membuat perubahan yang berarti
bagi negaraku, sementara tanpa diriku, untuk pertama kalinya bendera negaraku
telah berkibar di markas PBB beberapa hari yang lalu. Kini orang semakin
mengetahui tentang Palestina, negaraku yang masih akan kutinggalkan untuk
beberapa waktu. Apapun efek dari pengibaran bendera kami, ada harapan baru bagi
kami bahwa suatu saat nanti kami akan dapat hidup dengan kebebasan sesuai cara
negara kami sendiri. Akupun masih akan berjuang dengan caraku, cara yang aku
masih belum tahu. Aku bergegas memasuki ruang tunggu yang telah memanggilku.
Kupandangi sejenak pesawat China Sourthern Airline yang akan membawaku menuju
negri baru. Dengan semua kenangan yang pernah kudapat di negara ini.
