About Me

My photo
I'm a teacher working in SD Islam Al Azhar 35 Surabaya and a freelance translator. Check my website surabayatranslate.com for further information about my translation or contact me @ 087852400566

Pengalaman Mengurus Administrasi di Surabaya


.

Tulisan ini pernah dimuat di http://www.maknews.id/pengalaman-mengurus-administrasi-di-surabaya/

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman. Iyo yo, ngerti. Pengalamanku asline durung akeh. Tapi, apa salahnya berbagi. Yo, sopo eruh bermanfaat bagi yang lain.
Sebenarnya, saya bukan orang asli Surabaya. Saya adalah pendatang yang sudah nyaris 10 tahun bermukim di Kota Pahlawan. Namun, hal itu justru membuat apa yang saya ketahui tentang proses administrasi di Surabaya dan sekitarnya menjadi lebih kompleks.
Seluk beluk, tetek bengek, sluman-slumun, gandeng renteng #halah, tentang administrasi dan pengurusan kartu-kartu serta izin-izin yang beraneka jenis akan saya paparkan di sini. Nek onok mblesete, yo sepurane. Iling, Rek, iling! Aku iki menungso biyasa!
1. Hilang ATM
Seingat saya, sudah tiga kali saya kehilangan kartu ATM. Mungkin lebih, lho. Penyebab kartu saya hilang dulu kan karena saya pelupa. Kalau soal kartu ATM saja saya lupakan, apalagi jumlah kehilangannya, kan? *tik tok tik tok tik tok
Dari beberapa pengalaman, mengurus kehilangan kartu ATM BCA (dicoret ya, nanti dikira promosi) merupakan yang paling simpel. Sebab, nasabah tidak harus menyertakan surat kehilangan dari Polisi. Untuk kartu ATM bank lain, tampaknya masih butuh surat dari pak pulis.
Jadi, jangan lupa membawa selembar kertas berstempel korps bhayangkara itu jika mengurus kehilangan kartu ATM.
2. Pindah Nikah
Lha iyo, Rek. Koyok jare pepatah, asam di gunung garam di laut, bertemu jua di belanga. Aku di Banyuwangi, bojoku di Madura, takdirnya menikah di Surabaya. Oleh karena sama-sama ber-KTP luar Surabaya, pada 2011 lalu, kami pun “menumpang nikah” di kota ini.
Alhamdulillah, kota ini tidak keberatan kami tumpangi. Maklum, waktu itu saya masih kurus, begitu pula suami saya. Kami dulu bukan pasangan kelas berat. Lha kalau sekarang? No comment!
Mengurusnya tidak terlalu rumit. Cukup membawa surat pindah nikah dari daerah asal (laki dan perempuan). Lantas, didaftarkan di KUA wilayah berlangsungnya akad nikah.
Jadi, KTP masing-masing tetap berstempel luar Surabaya. Asalkan, disertakan foto kopi KTP saudara/keluarga yang berdomisili di wilayah berlangsungnya akad nikah. Paham kan maksudku? Yo pahamlah. Mosok ngono ae kudu tak baleni ping papat.
3. Pindah KTP
Ini saya lakukan di Sidoarjo dan paling menguras tenaga plus biaya. Saya harus mengurus pencabutan data dari KK tempat asal di Banyuwangi. Biar cepat, saya sendiri yang harus mengurusnya.
Runtang-runtung, kesana kemari, ngetan ngulon, ngalor ngidul, dari rumah Pak RT, sampai rumah Pak Camat, eh sori. Maksudnya, sampai kantor Dinas Kependudukan.
Kena biaya? Iyes. Biaya seikhlasnya di tingkat RT sampai Kecamatan. You know lah biaya apa itu.
“Niki wonten biayane, Pak?”
“Nggih sakwelase sak ikhlasne mawon, Mbak. Kula tampi!,”
Alhamdulillah, di kantor Dinas Kependudukan gratis. Lalu, sesampainya di Sidoarjo, saya minta tolong orang lain untuk menguruskan. Ehm…., semacam calo lah.
(Lha, semacam jare?! Opo rumangsane calo iku bermacam-macam?)
Yang jelas, kalau kita mengurus sendiri semua proses administrasi, biaya dapat ditekan seminim mungkin.
4. Mengurus KPR
Sekali lagi, saya mengurusnya di Sidoarjo. Eh, bukan saya ding. Tepatnya, suami saya. Nah, saat suami saya mengurus KPR, saya dengan setia mengurus suami saya #yomestiae #cuitcuitsokswit
Untuk pengurusan KPR waktu itu, awalnya kami menyerahkan uang Rp 1 juta kepada developer sebagai tanda jadi. Lalu, menyiapkan segala macam dokumen seperti KTP, buku nikah, slip gaji dan foto kopi buku tabungan.
Nah, menyiapkan slip gaji ini yang paling ribet karena profesi kami guru. Yok ai, guru seperti kami, penghasilannya kan gak besar. Apa mereka percaya pada kami, Tuan? Apalah kami ini, Tuan? Apa?!
Ceg kethok rodok akeh penghasilane, tak akali ae, sekalian tak sertakno kuitansi-kuitansi pembayaran les privat yang kami handle. Alhamdulillah, isih nutut, Rek. Lik e gelem ngeweki KPR.
Urusan ke bank diambil alih developer dan akhirnya aplikasi kami diterima BTN. Kini KPR kami sudah berjalan 3 tahun dan masih 12 tahun lagi. Huaaaaaaaa!
Tapi ingat, Suro Wani, Boyo Utang. Suroboyo, Wani Utang! Kapokmu kapan!
5. Mengurus paspor
Saya dua kali mengurus paspor. Pertama, buat baru. Kedua, perpanjangan. Dahulu kala sebelum ada aplikasi online, saya menggunakan biro jasa. Sekitar 6 tahun lalu, biayanya sekitar Rp 500 ribu.
Nah, Juni lalu saya memperpanjang paspor dengan mendaftar sendiri secara online. Karena khawatir antri, setelah melakukan pendaftaran online dan mendapat form bukti pendaftaran dan pembayaran, saya datang pagi-pagi sekali ke kantor imigrasi Waru.
Oh ya, pembayaran mengurus paspor via online ini hanya bisa di Bank BNI atau ATM BNI. Bukti pembayaran yang asli digunakan untuk mengambil paspor.
Saya datang pukul 6 pagi, dan antriannya luar biasa panjang hingga mencapai musholla di kantor imigrasi Perak, eh… Waru. Ceg dowone nek nganti Perak.
Tapi, bagi yang sudah mendaftar online, hanya akan antri sebentar di luar sampai masuk. Sebab, di dalam ruangan, akan dipisahkan mana yang mendaftar online dan mana yang offline.
Yang mendaftar online dikumpulkan di antrian tersendiri karena waktu pengurusannya bakal lebih singkat. Tidak sampai dua jam, saya sudah menyelesaikan wawancara dan foto. Tiga hari kemudian, saya sudah mendapatkan paspor. Hore! Ngelencer dong beb, ngelencer. Mosok neng pasar malem terus, beb…
6. Mengurus BPJS
Saya mendaftar BPJS secara online. Lantas, mengurus kelengkapannya dengan datang langsung ke kantor BPJS Dharmahusada. Saya sempat beberapa bulan tidak membayar iuran (Lupa. Ya, lagi-lagi karena lupa. Untung saya tidak pernah lupa kalau sudah berkeluarga). Maka itu, saat BPJS yang saya miliki diambilalih oleh tempat kerja, saya diminta melunasi tunggakan iuran terlebih dahulu.
Saya menggunakan BPJS saat melakukan pemeriksaan rutin kehamilan. Yang membuat saya sempat getem-getem, bidan dan dokter di puskesmas faskes 1 tidak pernah mau memberi surat rekomendasi untuk periksa di faskes yang lebih tinggi: rumah sakit.
Tapi selanjutnya saya paham, pasien baru boleh dirujuk jika memang diperlukan. Nek mung pengen endel supoyo isok perikso nang tempat dengan fasilitas lebih banyak, yo mohon maaf. Lha wong dengan fasilitas sederhana bisa diatasi, lapo kemelinthi pengen yang lebih dan lebih?!
Walhasil, selama kehamilan, saya periksa gratis di puskesmas (kecuali cek darah). Dan, kalau mau periksa lebih detail ke Rumah Sakit di Jemursari, saya rogoh kocek sendiri.
Hingga menjelang melahirkan, saya tak kunjung dapat rekomendasi dari faskes 1. Dokter jaga puskesmas tetap bersikukuh dengan pendiriannya. Idealiasmenya mengingatkan saya pada Bung Karno #sayatahusayaberlebihan.
Dia bilang, kalaupun nanti saya tiba-tiba melahirkan, cukup datang ke rumah sakit dan meminta surat rujukan setelahnya. BPJS tetap akan berlaku. Mbuh, iki sakjane peraturane yok opo aku gak patek paham.
Karena ketidakjelasan tersebut, saya dan suami mulai mempersiapkan diri untuk lahiran dengan biaya sendiri.
Saya tepuk pundak suami sambil berkata, “Kang Mas, ilingo. Kula bakal ngelahirno nang RS ndek Suroboyo. Nah, Suroboyo iku artine, Suro Wani, Boyo Utang. Nek wonten menopomenopo, panjenengan kudu Suroboyo yo. Maksude, kudu wani utang,” demikian yang saya katakan dan disambut anggukan manja suami.
Ndilalah, saya pecah ketuban beberapa hari sebelum perkiraan. Tanpa pikir panjang, di malam yang sepi, kami meluncur ke RS di bilangan Jemursari. Awalnya, suster setempat tetap meminta rekomendasi dari faskes 1 kalau mau pakai BPJS.
Namun, terimakasih Bu suster, terimakasih rumah sakit, karena kondisi sudah mendesak sepeti angkot yang diisi wong wolulas, akhirnya saya tetap dilayani dengan baik. Menariknya, saya baru dimintai rekomendasi di hari saya keluar dari rumah sakit. Mbuh, iki sak jane peraturane yok opo aku gak patek paham (2).
Demikianlah sejumlah pengalaman saya. Sebenarnya masih banyak curhat pengalaman lain yang kalau dipaparkan semua bisa makan waktu rong dino rong wengi koyok wong jagong bayek. Gelem ta? Tidak, jangan terlalu lama baca curhatan saya. Nanti menular…
Oke deh kakak, salam super.

Your Reply