Berita dan nasi pecel
“Pecel
satu teh anget satu Bu.” Surya memesan makanan di warung makan
langganannya. Ia senang karena warung tidak terlalu ramai seperti hari
biasa. Di jam-jam ini kebanyakan mahasiswa lain lebih suka memeluk
guling di kamar-kamar kos atau kontrakan mereka, melupakan sejenak
perjuangan mendapatkan gelar sarjana dan selembar sertifikat yang mereka
sendiri tidak yakin apakah akan membantu mereka bertahan di tengah
ketatnya persaingan dunia kerja saat ini. Surya sendiri memiliki hobi
lari sehingga setiap pagi bila ia senggang, ia berlari mengelilingi
gang-gang sekitar tempat kosnya. Sering ia disapa ibu-ibu yang ada di
depan rumah mereka sambil menyuapi anaknya, biasanya ia hanya mengangguk
dan tersenyum menjawab sapaan tersebut.
Sambil
menunggu pesanannya ia membaca koran langganan warung tersebut. Koran
ini seperti sudah menjadi bacaan wajib kebanyakan warga kota ini. Surya
langsung mencari halaman olah raga untuk melihat berita seputar
sepakbola. Matanya tertuju pada berita kekalahan Juventus dari … ia
tampak serius mengikuti berita kekalahan tim jagoannya itu. Sayang tidak
ada orang yang bisa diajak mengomentari. Ia tampak setuju dengan ulasan
penulis mengenai analisis keterpurukan tim kesayangannya itu.
Pecel
dan teh hangat yang dia tunggupun datang. Ia sruput teh hangat yang
warnanya sangat menggoda itu dan melanjutkan membolak-balikkan koran.
Kali ini pandangannya berhenti pada judul “Diiringi Gerimis,
Tahlilan Khusuk di Rumah Keluarga Bocah yang Mayatnya Ditemukan di
Kardus.” Surya langsung menebak bahwa berita ini pasti tentang berita
yang beberapa hari terakhir ramai menghiasi media TV dan media sosial.
Biasanya ia tidak terlalu tertarik dengan berita-berita mengenai
kekerasan dan kriminal, namun berita yang ramai diberitakan beberapa
hari terakhir ikut menyita perhatiannya. Ia sangat tidak habis piker
bagaimana bisa manusia melakukan hal biadab seperti yang ia saksikan di
TV.
Sekitar
seminggu yang lalu ia membaca berita mengenai pengeroyokan dan
pembunuhan dua aktivis tambang batu bara di Lumajang. Awalnya dia tidak
tertarik dengan berita tersebut karena berita kriminal tentang
pengeroyokan sudah sering lalu lalang di media sosialnya. Tapi saat
berita tentang pengeroyokan aktivis tambang batu bara itu semakin
meluas, ia menjadi ingin tahu lebih banyak mengenai hal tersebut. Dan,
saat akhirnya ia membaca kronologi pengeroyokan hingga menyebabkan salah
satu aktivis penolak tambang pasir tersebut meninggal, ia benar-benar
menjadi terperangah, kehabisan kata untuk mengungkapkan betapa manusia
dapat melakukan hal sekeji itu terhadap manusia demi beberapa rupiah
saja. Ketidakhabispikirannya mengenai kejadian itu membuatnya mengikuti
perkembangan berita itu.
Pengeroyokan
terhadap dua aktivis penolak tambang pasir di Lumajang itu
dilatarbelakangi oleh penolakan terhadap aktivitas penambangan pasir
ilegal di pinggir pantai di sebuah daerah di lumajang. Parahnya,
penambangan tersebut dibekingi oleh kepala desa daerah tersebut. Kepala
desa itu bahkan memiliki anak buah yang disebut sebagai “Tim 12” yang
bertugas mengamankan aktivitas penambangan pasir tersebut. Setiap
harinya, menurut yang dibaca oleh Surya, ratusan truk pengangkut pasir
mengangkuti pasir dari wilayah tersebut dan untuk setiap truk pasir yang
mengangkut, si kepala desa menerima beberapa rupiah sebagai setoran
wajib. Kegiatan ini sudah berlangsung beberapa tahun dan bukan tanpa
penolakan warga. Pengeroyokan terhadap dua orang aktivis tersebutpun
diawali dari aksi penolakan warga yang menyebabkan ditutpnya tambang
pasir selama dua hari, dan saat penambangan kembali dibuka, warga
beramai-ramai akan melakukan demonstrasi. Namun apa yang dilakukan si
kepala desa, ia mengumpulkan anak buahnya tersebut dan meminta mereka
melakukan aksi tandingan untuk menghentikan aksi penolakan tambang
pasir. Dan akhirnya terjadilah pengeroyokan secara membabi buta dan
sadis terhadap dua aktivis tambang tersebut.
Berita
ini akhirnya menjadi sangat besar hingga mendapat perhatian khusus dari
pemerintah pusat. Media sosial saat ini benar-benar berperan sebagai whistle blower
yang efektif untuk membuat sebuah berita menjadi terketahui secara luas
dalam waktu sekejap. Surya membayangkan jika saja kejadian tersebut
tidak terekspos oleh media sosial, apakah pengusutannya akan menjadi
besar-besaran seperti ini?
Perhatian
yang besar terhadap kasus ini telah menyeret berbagai pihak menjadi
tersangkut, bahkan MABES POLRI turun tangan menyelidiki kepolisian
Lumajang untuk mencari keterkaitan dan kelalaian yang mereka lakukan
terhadap tidak terendusnya rencana pengeroyokan itu. Tambang-tambang
pasir illegal yang banyak beroperasi di wilayah Lumajang ditutup. Bupati
wilayah itu memanggil kepala desa yang ada di wilayah Lumajang dan
memerintahkan penutupan tambang-tambang pasir yang ada di wilayahnya.
Diantara puluhan kepala desa yang hadir, hanya satu kepala desa yang
tidak hadir karena dia ditetapka menjadi tersangka, yaitu kepala desa
tempat terjadinya perkara tersebut. Beberapa anggota DPRD juga
dikabarkan dipanggil untuk diperiksa terkait keterlibatan mereka dengan
penambangan pasir illegal tersebut. Selama beberapa hari media-media
nasional melaporkan perkembangan kasus tersebut dan apa-apa saja yang
telah dilakukan oleh kepolisian untuk mengusut kasus itu.
Namun
ada satu hal yang menggelitik pikiran Surya. Mengapa baru sekarang,
setelah ada nyawa melayang baru semua itu diusut. Haruskah para
pendukung penutupan tambang pasir merasa bahagia karena akhirnya mereka
ditanggapi setelah salah satu anggota mereka kehilangan nyawa?
Belum
juga surut berita mengenai pengusutan tambang pasir tersebut, kini
muncul berita lain yang juga membuat ramai media sosial, yaitu penemuan
mayat gadis kecil di dalam kardus. Dari tanda-tanda yang ditemukan,
gadis kecil tersebut mengalami kekerasan seksual. Kali ini Surya semakin
tidak habis piker, mengapa harus dengan cara sekeji itu untuk menyakiti
dan menghilangkan nyawa, seorang anak kecil pula? Ia membayangkan
adiknya yang ada di kota lain yang juga masih sekolah SD. Ia tidak bisa
membayangkan jika hal tersebut terjadi pada adiknya. Bahkan ia sempat
berpikir, jika dia adalah anggota keluarga gadis yang terbunuh tersebut,
mungkin ia akan membunuh pelaku pembunuhan itu dengan cara yang keji
pula seperti yang ia pernah saksikan di sebuah film thriller.
Sampai
pagi ini berita yang ia baca belum ada yang menyatakan siapa tersangka
pembunuh gadis kecil itu. Surya akan terus mengikuti beritanya. Ingin
rasanya ia menghubungi ibunya hanya untuk menyampaikan agar menjaga
adiknya dengan lebih hati-hati, namun ia mengurungkan niatnya karena
yakin Ibunya telah melakukannya dengan baik.
Surya
menyendok nasi pecelnya yang sudah mulai dingin. Setelah sendokan
pertama ia masih membolak balikkan koran yang dibacanya, kali ini di
halaman hiburan. Berita sampah, pikirnya. Bagaimana mungkin seorang yang
dipanggil “artis’ terang-terangan membuka aib dirinya dan mengakui
bahwa ialah wanita penghibur yang ramai diberitakan oleh media sosial.
Bagi Surya artis yang tidak ia kenal itu hanya mencari sensasi. Pun
media yang menulisnya hanya ingin mendapat perhatian. Namun toh Surya
tetap membaca berita itu.
Ia
semakin lapar. Koran tersebut dia lipat dan diletakkan di meja
sampingnya. Masih ada berita yang menarik perhatiannya namun dia memilih
mengenyangkan perutnya terlebih dahulu.
